Bireuen, 30 Juli 2015
Maaf jika judul tulisan ini terlihat norak, tidak akademis dan sedikit nyeleneh, atau bahkan lebay. Mendengar kata-kata kok repot, sebagian kita tentu akan terkenang pada sosok Gusdur, seorang tokoh kontroversial yang sempat menjadi Presiden di Republik ini.
Aksi memakai celana pendek di Istana Negara yang pernah dilakoni Gusdur sebelum lengser, tentunya punya makna tersendiri. Melalui aksinya tersebut, nampaknya Gusdur mencoba menitip pesan kepada kita, bahwa “kewibawaan” itu bukan pada “wajah sangar”, bukan pula pada sikap “sok serius”. Dan yang lebih penting kewibawaan itu tidak terletak pada setelan jas, dasi dan peci. Buktinya, meskipun memakai celana pendek di Istana Negara, Gusdur tetap saja “berwibawa” di mata penggemarnya.
Walaupun saya bukan penggemar Gusdur, tapi “mata awam” saya melihat bahwa Gusdur adalah sosok yang “jujur”, di mana ia lebih memilih bersikap nyeleneh dan “ganjil”, tapi jujur, daripada bersikap normal dan formal, tapi palsu. Lihat saja berapa banyak tokoh di negeri ini yang bicara anti korupsi, tapi ternyata mereka adalah koruptor. Berapa banyak tokoh-tokoh agama yang mengajak untuk berinfak dan bersedekah dengan “dalil” tangan di atas lebih mulia daripada tangan di bawah, tapi nyatanya mereka “mengemis” pada penguasa, dan bahkan “meminta-minta” di jalan raya. Berapa banyak pemimpin yang berteriak ingin mensejahterakan rakyat, tapi nyatanya mereka hanyalah pembual alias pemberi harapan palsu. Sikap yang kita dan mereka tunjukkan hari ini hanyalah sikap-sikap palsu yang akhirnya tanpa sadar membuat kita larut dalam “kepalsuan” itu sendiri.
Ijazah Palsu
Beberapa waktu lalu, Indonesia kembali dihebohkan dengan temuan ijazah palsu di beberapa perguruan tinggi. Meskipun fenomena ijazah palsu bukan-lah hal baru di Indonesia, tapi kononnya sindikat ijazah palsu ini kembali mencuat pasca terbongkarnya “perdagangan ijazah” di University of Berkley yang disebut-sebut beroperasi di Jakarta (tempo.co, 25/05/15). Ibarat menyembunyikan durian, aksi pemalsuan ijazah baru-baru ini juga terbongkar di Aceh.
Tersiar kabar bahwa Kepolisian Sektor Syiah Kuala, Banda Aceh, mulai menelusuri keberadaan 57 orang pemegang ijazah palsu S1 dan program pascasarjana (S2) yang memakai kop dan stempel Universitas Syiah Kuala (aceh.tribunnews.com, 07/06/15). Informasi terakhir sebagaimana dilansir Serambi Indonesia (08/06/15), jumlah ijazah palsu berkop UNSYIAH yang telah ditemukan oleh pihak kepolisian sudah mencapai 113 lembar. Fantastis!
Uniknya lagi, beberapa media juga mengabarkan bahwa ada beberapa kepala daerah dan anggota dewan yang diduga menggunakan ijazah palsu. Selain itu, kabarnya ijazah palsu juga beredar di kalangan PNS.
Beberapa waktu sebelumnya, Indonesia juga sempat dihebohkan dengan isu beras palsu (beras plastik) dan telur palsu. Terlepas informasi itu hoax atau bukan, tapi yang jelas kata-kata “palsu” tiba-tiba menjadi kata yang “paling populer” di Indonesia. Bahkan ada yang nyeleneh di media sosial dengan menyebut bahwa “presiden kita juga palsu”. Dengan terbongkarnya kasus ijazah palsu baru-baru ini, maka lengkap sudah kepalsuan di Indonesia ini.
Motif Ijazah Palsu
Jika ditelisik, munculnya fenomena ijazah palsu di Indonesia kemungkinan disebabkan oleh beberapa faktor, di antaranya: Pertama,status sosial. Masih ramai masyarakat kita yang “gila gelar” yang bermuara kepada peningkatan status sosial. Ada kebanggan tersendiri bagi sebagian masyarakat kita jika namanya diapit oleh sederetan gelar akademik. Semakin panjang deretan gelar akademik, maka semakin hebat, sehingga dia tidak akan lagi dipandang sebelah mata oleh masyarakat.
Kedua, untuk melamar kerja. Di zaman ini, jangankan untuk melamar sebagai pegawai negeri atau pun karyawan perusahaan, untuk menjadi pelayan toko saja kita disyaratkan memiliki ijazah, minimal ijazah SMP. Tentunya si pemilik toko tidak mau rugi hanya karena karyawannya tidak mampu baca tulis dan menghitung. Sudah menjadi kebiasaan di negeri kita bahwa kemampuan itu diukur dengan selembar ijazah.
Ketiga, kepentingan jabatan. Saat ini sudah menjadi semacam tren baru bahwa untuk menjadi seorang pimpinan di instansi tertentu minimal harus berijazah magister atau bahkan Doktor. Bagi seorang PNS untuk dapat melanjutkan kuliah secara normal tentunya sangat sulit dan akan menghabiskan banyak waktu, belum lagi pengurusan izin belajar yang terbilang rumit. Dalam kondisi yang “serba sulit” ini, terkadang ijazah palsu menjadi solusi. Demikian pula dengan para politisi yang ingin mencalonkan diri sebagai kepala daerah atau anggota dewan, tentunya juga butuh kepada ijazah.
Keempat, gengsi akademik. Fenomena ini berpotensi terjadi di dunia kampus. Tidak dapat dipungkiri bahwa sampai saat ini masih ada kampus, khususnya kampus swasta yang dosennya berpendidikan S1. Seorang mahasiswa yang kritis tentunya akan mempermasalahkan status dosen yang masih berpendidikan S1 tersebut. Untuk menutup “aib” ini, maka “pintu” menuju kepada ijazah palsu akan terbuka lebar.
Beberapa faktor yang mendorong seseorang menggunakan ijazah palsu sebagaimana saya sebutkan di atas hanyalah sekedar asumsi yang bisa benar dan bisa pula salah. Dengan demikian tidak tertutup kemungkin ada motif-motif lain yang ikut mendorong perilaku tersebut.
Kenapa Repot?
Menyikapi maraknya ijazah palsu yang sudah mulai terbongkar akhir-akhir ini haruskah kita repot dan latah? Bukankah kita sudah terbiasa dengan hal-hal yang palsu? Nampaknya kita hanya berpura-pura terkejut agar disebut jujur. Seandainya Gusdur masih hidup, saya yakin dia akan berkata: “ijazah palsu kok repot”.
Kita selalu saja mengulang kesalahan yang sama dari masa ke masa. Kita baru sibuk dan “sok repot” ketika masalah itu muncul. Ketika bibit-bibit masalah itu masih berupa embrio yang sedang berproses, kita justru lalai dan abai.
Lemahnya sistem data yang dimiliki oleh intansi-instansi pemerintah membuka peluang bagi “kekal”nya kasus ijazah palsu. Adalah aneh jika ada instansi pemerintah yang “kecolongan” ijazah palsu. Demikian pula dengan dugaan ijazah palsu yang digunakan oleh kepala daerah dan anggota dewan, jika dugaan itu benar maka KPU/KIP semestinya juga harus dievaluasi. Lebih tragis lagi jika ada kampus yang sengaja “memperdagangkan” ijazah palsu, tentunya kerugian tidak hanya menimpa kampus tersebut, tetapi juga akan berimbas kepada mahasiswa lain yang mengikuti proses kuliah secara normal.
Yang penting dilakukan oleh pemerintah adalah usaha-usaha pencegahan dan menutup pintu rapat-rapat bagi suburnya “perdagangan ijazah”, bukan justru “sok repot” ketika ijazah palsu itu telah muncul. Penting pula ditanamkan kesadaran kepada masyarakat bahwa menggunakan ijazah palsu adalah satu “aib” yang mesti dihindari. Jika kesadaran masyarakat telah tumbuh maka “proyek” ijazah palsu itu akan hilang dengan sendirinya. Khususnya di Aceh, dengan adanya fatwa MPU terkait ijazah palsu tersebut, insya Allah akan sedikit membantu menumbuhkan kesadaran masyarakat. Wallahu A’lam.
0 Comments