Bireuen, 02 Agustus 2015
Bagi mahasiswa Aceh, khususnya “aktivis” (sebutan keren) yang aktif dalam pergerakan mahasiswa pada era 1998 dan juga era-era selanjutnya sampai terwujud damai Aceh pada 15 Agustus 2005, tentu tidak terlalu asing dengan nama Ridwan Haji Mukhtar.
Senyuman khas dengan bentuk kumis melingkar membuat wajah sosok ini sangat mudah untuk dikenali. Kalau saya tidak salah ingat, Ridwan Haji Mukhtar juga memiliki model rambut belah tengah yang dalam bahasa Aceh sering disebut “oek plah teungoh”. Namun, dalam perjumpaan terakhir dengan beliau, rambutnya telah dipangkas pendek.
Tulisan ini bukan hendak memuat biografi beliau secara utuh, bukan pula untuk menjelaskan “siapa beliau” secara detil dan rinci. Tanpa tulisan ini pun, saya yakin sosok Ridwan Haji Mukhtar akan tetap dikenang oleh sahabat-sahabatnya. Jika pun ada yang lupa, biarkan saja mereka lupa. Bagi saya pribadi, tulisan ini hanya sekedar catatan kecil “penghibur diri.” Anggap saja begitu.
Pertemuan saya untuk pertama kalinya dengan sosok Ridwan Haji Mukhtar terjadi pada sekira akhir tahun 1998. Saya ingat, ketika itu saya masih duduk di bangku kelas 3 MAN Peusangan, Bireuen. Selepas istirahat, guru saya memberitahukan bahwa sesaat lagi ada dua orang mahasiswa yang akan memberikan ceramah di kelas saya. Tidak berapa lama, dua sosok mahasiswa dengan jas berwarna biru masuk ke dalam kelas saya. Dari dua sosok ini, cuma wajah dan nama Ridwan Haji Mukhtar yang mampu saya ingat, adapun seorang lagi hilang begitu saja di ingatan saya. Ada beberapa alasan kenapa saya cuma ingat dengan Ridwan Haji Mukhtar dan lupa pada sosok yang kedua, meskipun saya yakin mereka berdua punya tugas dan peran yang sama.
Alasan pertama, pada saat memperkenalkan diri, Ridwan Haji Mukhtar menyebut dirinya berasal dari kampung yang bersebelahan dengan kampung saya. Kedua, ceramah (pidato) yang disampaikan Ridwan Haji Mukhtar telah berhasil memberi kesan “luar biasa” dan mampu mengikis “ajaran P4” yang telah “berkerak” pikiran saya. Ketiga, pertemuan saya dengan Ridwan Haji Mukhtar tidak berakhir di kelas, tapi berlanjut pada saat saya sudah berada di Banda Aceh.
Pidato yang disampaikan oleh Ridwan Haji Mukhtar di kelas III IPA 2 MAN Peusangan pada akhir 1998 telah membuat saya menjadi tidak betah berlama-lama di sekolah. Saya ingin segera lulus dan menjadi “Mahasiswa” – sebuah istilah (kata) yang sering diulang-ulang oleh Ridwan Haji Mukhtar pada saat berpidato di hadapan kami. Ini adalah kesan pertama.
Pertemuan selanjutnya dengan Ridwan Haji Mukhtar berlangsung di Banda Aceh, saat itu (tahun 1999) saya sudah berstatus sebagai mahasiswa di IAIN Ar-Raniry. Setibanya di Banda Aceh, tidak hanya dengan Ridwan Haji Mukhtar, tapi saya juga berjumpa dengan senior-senior lain, seperti Faisal Ridha, Faurizal Moechtar, Muhammad Shaleh, Fajri M. Kasim dan segudang nama lainnya. Pada saat itu (1999-2000) saya sering berjumpa dengan Ridwan Haji Mukhtar di sekretariat Sentral Informasi Referendum Aceh (SIRA) di kawasan Peunayong Banda Aceh. Ada banyak cerita “heroik” yang saya dengar dari Ridwan Haji Mukhtar. Cerita-cerita itu menjadi “modal” bagi “anak baru” seperti saya untuk sedikit melibatkan diri sekedar mampu dalam “hiruk pikuk” kondisi Aceh yang lumayan “panas” ketika itu. Ini adalah kesan kedua.
Pertemuan terakhir dengan Ridwan Haji Mukhtar berlangsung di Bireuen, pasca damai Aceh. Saat itu, Partai Rakyat Aceh (PRA) yang diketuai oleh Ridwan Haji Mukhtar (sebelumnya Aguswandi) melakukan pertemuan dengan para kader mereka di Bireuen. Setibanya di tempat acara, beliau menelpon saya untuk jep kupi bersama kader PRA Bireuen, meskipun saya sendiri bukan kader PRA. Pada saat itulah saya melihat fisik Ridwan Haji Mukhtar sudah mulai lemah, matanya terlihat “menguning”, tapi senyum khasnya tetap “menyala”. Pada pertemuan itu, beliau sempat berpidato singkat. Saya menyimak setiap bait pidatonya, beliau terlihat penuh semangat. Selesai pidato, beliau sempat bertanya kepada saya: “Kiban mata lon puna kuneng!” (Bagaimana mata saya, apakah menguning?). Saya jawab: “Mata droneuh lage biasa, hana kuneng” (matanya seperti biasa, tidak kuning). Beliau pun kembali tersenyum, dan kami pun kembali larut dalam berbagai cerita tentang “baliho dirusak”, “mobil dibakar”, “kader diteror” dan seterusnya. Selepas acara tersebut kami pun berpisah. Ini adalah pertemuan terakhir saya dengan Ridwan Haji Mukhtar. “Semangat” adalah kesan ketiga yang saya dapat dari sosok ini.
Setelah pertemuan di Bireuen tersebut, saya tidak lagi berjumpa dengan beliau. Pada suatu hari (saya lupa hari dan tanggalnya), ketika sedang minum kopi bersama rekan-rekan di kantin Kantor Gubernur, saya menelpon Ridwan Haji Mukhtar untuk jep kupi. Saat itu seorang perempuan (saya tidak tahu siapa, mungkin istrinya) mengangkat telpon dan menyampaikan bahwa Ridwan Haji Mukhtar sedang sakit. Tidak lama kemudian, kabar duka pun datang. Beliau telah pergi menghadap Tuhannya. Allahummagfirlahu.
0 Comments