Bireuen, 14 Juli 2015
Pada saat saya membolak-balikkan halaman (membaca) Koran Waspada Medan pada 13 Juli 2015, tanpa sengaja saya menemukan sebuah berita dengan tajuk “UIN Ar-Raniry Dituding Sarang Wahabi”. Dalam berita yang dilansir Harian Waspada tersebut, Rektor UIN Ar-Raniry, Prof. Dr. Farid Wajdi, MA, mensinyalir bahwa ada pihak-pihak yang menyerang kampus UIN Ar-Raniry dengan berbagai isu, di antaranya UIN Ar-Raniry disebut sebagai sarang Wahabi.
Dalam berita tersebut Prof Farid selaku Rektor UIN Ar-Raniry tidak secara tegas menyebut pihak mana yang menuding UIN sebagai sarang Wahabi. Tidak disebutnya pihak penuding oleh Prof Farid, bukan berarti tudingan itu tidak ada alias isapan jempol, tetapi (bisa jadi) Prof Farid ingin menerapkan pola komunikasi santun, yaitu tidak membalas tudingan dengan tudingan.
Saya berkenalan dengan UIN Ar-Raniry (dulu masih IAIN) pada tahun 1999. Saat itu saya sempat menjadi salah satu mahasiswa di Fakultas Tarbiyah Jurusan Bahasa Arab, namun sayang, karena satu dan lain hal saya tidak sempat menyelesaikan pendidikan di fakultas tersebut dan terpaksa hijrah ke perguruan tinggi lain. Setelah terpisah lama dari IAIN, pada tahun 2014 saya kembali melanjutkan pendidikan di Program Pascasarjana UIN Ar-Raniry sampai sekarang.
Keterangan tersebut sengaja saya cantumkan guna menepis “keraguan” sebagian pihak terhadap isi tulisan ini. Artinya, apa yang saya tulis dalam tulisan ini adalah berdasarkan pengetahuan saya sebagai mahasiswa UIN, bukan asal tebak atau asal tulis, seperti yang dilakukan oleh orang-orang yang berada di luar UIN yang sama sekali tidak mengenal UIN Ar-Raniry. Tidak pula berarti bahwa saya sangat kenal UIN Ar-Raniry, tapi saya mencoba melihat dari dalam, bukan dari luar “pagar”.
Sebagaimana telah maklum, bahwa UIN Ar-Raniry adalah salah satu Perguruan Tinggi kebanggan masyarakat Aceh, selain Universitas Syiah Kuala (Unsyiah). Singkatnya, UIN Ar-Raniry dan Unsyiah adalah jantong hate (jantung hati) rakyat Aceh. Apabila jantong hatee ini “terluka” maka “terusiklah” seluruh tubuh rakyat Aceh. Normatifnya seperti itu, tapi faktanya wallahu a’lam. Artinya, bisa jadi saat ini, ada sebagian kalangan yang “bergembira hati” ketika UIN Ar-Raniry “diserang” atau bahkan “dicelecehkan” dengan stigma-stigma syubhat semisal sarang Wahabi, markas liberal, otak sekuler dan sejumlah laqab-laqab “tak senonoh” lainnya.
Jika serangan kepada lembaga pendidikan modern semisal UIN Ar-Raniry terjadi pada era 40-an, tentu masih bisa dimaklumi mengingat pola pikir kala itu masih “gelap”. Wajar saja jika saat itu kalangan modernis “diserbu” habis-habisan oleh kalangan konservatif.
Sebenarnya di Aceh, pergerakan modernis sudah muncul jauh sebelum berdirinya Republik Indonesia. Organisasi Persatuan Ulama Seluruh Aceh (PUSA) yang didirikan oleh para ulama Aceh pada 05 Mei 1939 di Kota Matangglumpangdua punya “jasa besar” dalam memperkenalkan pola pikir modern di Aceh. Bahkan pola pendidikan modern ini juga sudah sudah terlebih dahulu diterapkan oleh Teungku Abdurrahman Meunasah Meucap dengan mendirikan Madrasah Almuslim di Matangglumpangdua pada tahun 1929.
Dengan demikian, adalah “sangat aneh” jika pada tahun 2015 seperti sekarang ini masih ada pihak-pihak yang “anti” pada lembaga pendidikan modern. Padahal kalangan tradisional-koservatif pun sudah “menyerap” pola pendidikan modern dengan didirikannya sekolah-sekolah dan perguruan tinggi di lingkungan pesantren (dayah).
Di sisi lain, sudah banyak pula kader-kader dayah di Aceh yang menjadi sarjana, magister dan bahkan doktor di lembaga-lembaga pendidikan modern, baik di Aceh maupun di luar Aceh. Dengan demikian, kredo “Jak sikula jeut keu kaphe” (belajar di sekolah menjadi kafir) sudah tidak relevan untuk dipertahankan di tengah menjamurnya lembaga pendidikan modern di Aceh. Jika pun saat ini masih ada orang yang menuduh UIN Ar-Raniry sebagai sarang Wahabi, maka dengan meminjam istilah Quraisy Syihab, orang-orang seperti itu patut disebut sebagai orang yang lahir terlambat.
Tentang Wahabi Aceh
Pada tahun 2013, saya pernah menulis satu artikel dengan judul “Wahabi di Mata Orang Aceh” yang dimuat Harian Waspada Medan. Tema Wahabi juga sudah pernah beberapa kali saya angkat dalam beberapa tulisan saya di beberapa media lokal di Aceh, seperti Harian Aceh (2011) dan Harian Pikiran Merdeka (2012). Tulisan dengan topik yang hampir sama, meskipun dalam materi yang berbeda juga sudah sering saya tulis di media Hidayatullah.com (2012/2015), dan baru-baru ini pasca “insiden Baiturrahman” tulisan saya tentang Wahabi juga saya “tempel” di media Republika Online (2015). Dengan demikian, dalam artikel ini, saya tidak akan mengulang lagi pembahasan tersebut.
Tujuan saya menulis dan bahkan mengulang-ulang topik Wahabi dalam beberapa tulisan, khususnya dalam konteks Aceh bukanlah untuk memperpanjang perdebatan yang menurut saya “sangat tidak penting”. Tapi hanya sekedar usaha “kecil-kecilan” agar umat Islam, khususnya di Aceh tidak hanyut dalam “perpecahan” hanya karena perbedaan-perbedaan ijtihadiyah. Namun demikian, saya pun sadar bahwa usaha tersebut terkesan sia-sia saja karena tidak mungkin bisa merubah keadaan dalam seketika. Usaha ini tidak lebih seperti kisah burung bulbul memadamkan api yang membakar Nabi Ibrahim ‘alaihissalam. Terlepas benar tidaknya kisah ini, tapi yang jelas ada spirit yang bisa diambil.
UIN Ar-Raniry dan Wahabi
Tudingan sebagian kalangan terhadap UIN Ar-Raniry sebagai sarang Wahabi sebagaimana diungkapkan oleh Prof Farid (Rektor) harus disikapi dengan cermat dengan mengedepankan mental ilmiah, bukan nafsu amarah. Harus disenaraikan dulu apa itu Wahabi dan apa saja indikator seseorang atau lembaga dapat disebut sebagai Wahabi.
Apakah hanya karena membaca buku seseorang dapat dituding sebagai Wahabi? Kalau begitu, Soekarno dan Hatta pun seorang Wahabi, karena mereka menjadikan buku sebagai teman hidup.
Apakah hanya karena belajar dalam ruangan/gedung (klasikal) bisa disebut sebagai Wahabi? Jika ia, maka pesantren pun sudah menjadi Wahabi, karena mereka juga sudah memakai meja, papan tulis dan ruangan dalam belajar, dan bahkan di lingkungan pesantren juga sudah banyak didirikan sekolah.
Apakah hanya karena dosen-dosen UIN Ar-Raniry bergelar Doktor dan Profesor lantas secara otomatis mereka menjadi Wahabi? Kalau begitu, Prof. Said Agil Siradj (ketua PBNU) dan almarhum Prof. Dr. Muhibuddin Waly rahimahullah (ulama Aceh) juga Wahabi.
Atau mungkin hanya karena kurang sepakat dengan tradisi nujoeh (kenduri hari ke 7 kematian), maka orang tersebut dapat dilabel sebagai Wahabi? Jika begitu, maka dengan berat hati kita harus menyebut bahwa Syaikh Muhammad Arsyad Al-Banjari dan Syehk Daud Fathani juga seorang Wahabi, karena mereka dalam kitabnya masing-masing Sabilal Muhtadin dan Furu’ul Masail justru “memakruhkan” praktek tersebut.
Sedemikian “liarkah” ta’rif Wahabi itu sehingga mudah saja dilabelkan kepada orang-orang yang tidak sepakat dengan pendapat kita?
Tanpa sadar kita telah menghabiskan banyak energi dengan mendengungkan klaim-klaim “tak bermutu” dan jauh dari tradisi ilmiah. Bagaimana kita ingin membangun peradaban jika sesama saudara kita masih saling “sikut” dan “sikat”?
Dalam bukunya, Amin Rais (1989) pernah mengkritik pernyataan Fazlur Rahman yang menyatakan bahwa “Indonesia (tentunya termasuk Aceh di dalamnya) akan menerbitkan fajar menyingsing kebangkitan Islam”. Rais menyebut bahwa optimisme Fazlur Rahman tersebut salah arah dan hanya berfungsi sebagai ungkapan “penyenang hati”.
Jika kita lihat kondisi umat muslim di Indonesia (termasuk Aceh) saat ini yang tersibukkan dengan “dawa-dawi” sesama muslim, maka mau tidak mau kita harus sepakat dengan Amin Rais, bahwa kebangkitan Islam tidak akan pernah muncul di Indonesia, khususnya di Aceh. Wallahu A’lam.
0 Comments