Banda Aceh, 04 Oktober 2015
Beberapa media mengabarkan bahwa pada 1 Oktober 2015 lalu, Parade Ahlussunah Waljama’ah (Aswaja) gelombang kedua kembali dilaksanakan di Banda Aceh.
Parade ini merupakan lanjutan dari parade sebelumnya yang dilaksanakan pada 10 September 2015 yang saat itu turut dihadiri oleh tokoh NU, Idrus Ramli. Para santri dan juga beberapa ormas yang menamakan diri “pecinta Ahlussunnah Waljama’ah Aceh” membawa sejumlah tuntutan yang ditujukan kepada Pemerintah Aceh dan juga Pemerintah Pusat. Dalam parade kali ini sejumlah tuntutan tersebut (12 poin) telah ditandatangani oleh Wagub Aceh.
Dari sejumlah tuntutan yang diajukan oleh Aswaja tersebut, saya tertarik untuk mencoba mengulas beberapa poin saja yang menurut saya sangat debatable. Beberapa poin dimaksud sangat layak untuk didiskusikan dan dikritisi.
Pertama, “mendesak Pemerintah Aceh untuk mengatur tata cara pelaksanaan ibadah di Aceh, sesuai mazhab Syafi’i sebagaimana pernah dilaksanakan oleh Syaikh Abdurrauf As-Singkili.” Poin ini secara tidak langsung “memaksa” kita untuk kembali ke masa lalu guna melihat bagaimana “model” mazhab Syafi’i yang diterapkan oleh Syaikh Abdurrauf. Artinya, yang menjadi “rujukan” pelaksanaan mazhab Syafi’i di Aceh adalah mengacu pada tata cara yang dipraktekkan oleh Syaikh Abdurrauf. Dengan demikian, tata cara ibadah yang dilaksanakan sebelum masa Syaikh Abdurrauf, seperti masa Nuruddin Ar-Raniry dan juga mufti-mufti yang lain adalah tidak berlaku, atau mungkin saja pada masa Nuruddin belum ada mazhab Syafi’i, atau setidak-tidaknya mazhab tersebut belum berkembang. Untuk dapat terlaksananya poin ini, maka harus dicari dulu dokumen-dokumen sejarah yang menjelaskan tata cara ibadah pada masa Syaikh Abdurrauf. Jika hal ini tidak dilakukan, maka ditakutkan pelaksanaan ibadah yang dimaksud tidak akan tercapai alias menyimpang dari tujuan awal.
Kedua, “mendesak Pemerintah Aceh untuk menjalankan wasiat pendiri Kesultanan Aceh untuk berpedoman kepada paham Ahlussunnah Waljama’ah mazhab Syafi’i.” Poin ini sedikit “menggelitik” karena berbicara tentang wasiat. Menurut saya, harus ada kejelasan siapa pendiri Kesultanan Aceh yang dimaksud oleh Aswaja Aceh. Apakah Sultan Ali Mughayat Syah? Di sisi lain, poin ini akan nampak sedikit “error” jika dikaitkan dengan poin di atas (poin pertama), di mana sangat sulit untuk menghubungkan antara wasiat pendiri Kesultanan Aceh yang kononnya terbit pada 1507 M dengan keberadaan Syaikh Abdurrauf As-Singkili yang kononnya baru lahir pada 1615 M.
Jika merujuk pada poin pertama bahwa mazhab Syafi’i diterapkan pada masa Abdurrauf, lantas bagaimana mungkin ada wasiat dari pendiri Kesultanan Aceh untuk berpedoman kepada Ahlussunnah Waljama’ah mazhab Syafi’i, sedangkan Abdurrauf baru muncul kemudian, yaitu pada masa pemerintahan para Sultanah (Ratu)? Jika memang wasiat itu benar adanya, maka penerapan mazhab Syafi’i di Aceh tidak harus mengacu kepada masa Abdurrauf, tapi bisa juga dirujuk pada masa-masa sebelumnya, seperti masa Syamsuddin As-Sumatrani.
Ketiga, “mendesak Pemerintah Aceh untuk melarang dan mencabut izin lembaga-lembaga pendidikan di Aceh yang bertentangan dengan paham Ahlussunnah Waljama’ah.” Untuk dapat melaksanakan misi ini, maka harus segera dilakukan identifikasi terhadap lembaga-lembaga pendidikan dimaksud untuk kemudian diverifikasi oleh pihak terkait. Nah, yang menjadi pertanyaan di sini, siapa yang memiliki otoritas untuk menilai dan menentukan lembaga pendidikan tersebut bertentangan dengan Ahlussunnah Waljama’ah atau tidak. Kondisi ini juga akan semakin parah jika dihadapkan pada fenomena saling klaim diri sebagai Ahlussunnah Waljama’ah. Kemudian Ahlussunnah versi manakah yang akan dijadikan rujukan?
Keempat, “mendesak Pemerintah Aceh untuk menempatkan Kepala Satuan Kerja Perangkat Aceh (SKPA) dan ketua badan di jajaran Pemerintah Aceh orang-orang yang berakidah Ahlussunnah Waljama’ah.” Secara tidak langsung, poin ini mengisyaratkan kepada pemerintah Aceh untuk segera membentuk Komisi Akidah. Komisi ini tentunya harus diisi oleh pakar-pakar Ahlussunnah Waljama’ah.
Tugas Komisi Akidah adalah melakukan pemeriksaan akidah kepada calon-calon kepala SKPA dan kepala Badan yang akan diangkat sebagai pejabat. Bagi calon-calon yang lulus ujian harus dikeluarkan sertifikat yang distempel oleh Komisi Akidah. Namun penulis melihat bahwa keberadaan Komisi Akidah nantinya juga sangat rawan penyimpangan. Kekhawatiran ini bukan tanpa alasan. Lembaga KPU dan KIP saja yang sudah profesional bisa kecolongan ijazah palsu. Padahal ijazah palsu tersebut berupa dokumen fisik, apalagi akidah yang wujudnya abstrak, sehingga potensi kecolongan akan lebih besar.
Kelima, “mendesak Pemerintah Aceh dan Pemerintah Pusat untuk menjalankan Qanun Aceh Nomor 8 Tahun 2012 tentang Lembaga Wali Nanggroe.” Dan keenam, “mendesak Pemerintah Pusat untuk merealisasi seluruh butir-butir MoU Helsinky dan turunan UUPA.” Dua poin ini nampaknya tidak linier dengan poin-poin lain. Tentunya sangat sulit untuk mencari relevansi antara MoU Helsinky, UUPA, Wali Nanggroe, dan Aswaja. Konkritnya bahwa MoU Helsinky yang ditandangani pada 15 Agustus 2005 lalu, sama sekali tidak memperbincangkan Aswaja. Demikian pula dengan UUPA juga tidak secara tegas menyindir tentang Aswaja dan mazhab Syafi’i. Apalagi jika Aswaja dihubungkan dengan Qanun Wali Nanggroe, tentu tidak jelas titik temunya. Akhirnya hanya kepada Allah kita kembali, semoga saja Allah memberikan yang terbaik bagi kita semua. Wallahul Musta’an.
0 Comments