Oleh: Khairil Miswar
Bireuen, 26 Desember 2015
Pagi itu, Minggu 26 Desember 2004 – sebelas tahun yang lalu, seperti biasa – “ritual hari Minggu,” saya sedang membersihkan rumput di pekarangan rumah orang tua saya, di Desa Cot Bada Baroh, Kecamatan Peusangan Kabupaten Bireuen. Ayah dan almarhumah ibu saya duduk di teras rumah. Mereka menyaksikan saya dan adik saya yang sedang mencabut rumput dengan gerak yang gemulai. Tiba-tiba, tanpa aba-aba, tanpa suara alarm, bumi pun berguncang hebat, pintu depan rumah kami terbanting keras. Kami pun berdiri sejenak, ayah dan ibu saya pun meninggalkan teras dan berkumpul bersama kami di pekarangan. “Brat geumpa” (gempanya hebat), ujar ibu saya.
Setelah gempa berhenti, kami pun mencabut rumput kembali. Ayah dan ibu saya kembali ke teras. “Aci telpon awaknyoe di Banda” (coba telepon ke Banda Aceh), kata ibu saya. Saat itu, dua adik saya masih kuliah di Banda Aceh, dan saya sendiri baru saja pulang dari Banda Aceh setelah non aktif kuliah karena lulus PNS di Bireuen pada akhir 2003. Tanpa menunggu lama, saya pun menelepon adik saya – yang satu HPnya tidak aktif, satu lagi tidak diangkat. Saya juga menelepon istri saya (waktu itu masih calon), juga tidak aktif. Kondisi ini membuat kedua orangtua saya panik.
Untuk menghilangkan kepanikan orangtua, saya pun menelepon teman saya, Alhamdulillah diangkat. “Kiban inan?” (bagaimana di sana), tanya saya. “Ino aman Bang, cuma gedung Safwan Idris lon deungo reutak” (di sini aman Bang, cuma gedung Safwan Idris kabarnya retak), jawab si teman. Kebetulan saat itu dia sedang berada di seputaran IAIN Ar-Raniry.
Setelah menutup telepon, saya pun menjumpai ibu saya. “Hana sapu di Banda, enteuk tatelpon lom awaknyoe” (di Banda Aceh tidak apa-apa, nanti kita telepon lagi), kata saya kepada ibu yang saat itu terlihat murung.
Setelah memastikan keadaan di Banda Aceh aman, saya dan ayah saya pun berangkat ke sawah pada sekira pukul 11 menjelang siang. Bekerja boleh di mana saja, tapi jak u blang tetap, begitulah kami di kampung. Sesampai di sawah, saya membantu ayah jak sipreuk pupoek lam blang (menabur pupuk di sawah). Setelah selesai, saya dan ayah istirahat sejenak di pematang sawah sambil menikmati kopi dan bada (pisang goreng) – snack khas ala jak u blang. Tiba-tiba, bumi kembali bergoyang. “Ka geumpa lom” (sudah gempa lagi) ujar ayah saya sambil menggigit bada terakhir dalam plastik. Setelah goyangan berhenti, kami pun beranjak pulang.
Pada sore harinya di kampung kami berkembang kabar dari radio meugigo (kabar angin) bahwa air laut sudah naik ke darat, banyak orang meninggal di Puskesmas Geurugok Kecamatan Gandapura dan juga Krueng Mane. Entah dari mana kabar ini berasal, wallahu a’lam. Kepanikan pun memuncak! Saya pun kembali menelepon adik saya, tidak aktif. Saya telepon istri (masih calon), juga tidak aktif. “Kabala!” saya pun mulai panik.
Di malam harinya berbagai informasi tak jelas pun terus berembus bahwa di Banda Aceh sudah banyak sekali orang meninggal. Ayah dan ibu saya tidak nyenyak tidur malam itu, cuma saya saja yang nyenyak, karena saya memang tidak bisa kompromi dengan tidur.
Keesokan harinya, 27 Desember 2004, setelah bermusyawarah, kami pun memutuskan untuk berangkat ke Banda Aceh. Tanpa menunggu palu diketuk, Ayah saya langsung menelepon angkutan L300 Mandala Tour. Sekira jam 11 siang, klakson pun berbunyi. “Katroek mandala, pakek ju baje” (Mandala sudah sampai, segera bergegas), ujar ibu saya yang semakin panik. Tepat jam 12 siang mobil pun berangkat dari loket menuju Banda Aceh.
Dalam perjalanan sampai dengan Ulee Glee tidak ada tanda-tanda aneh. Keadaan sepertinya biasa saja, entah luput dari pandangan saya wallahu a’lam, karena sudah menjadi kebiasaan kalau naik mobil saya akan ph’eh teungeut (tertidur).
Pemandangan aneh baru terlihat di wilayah Pantee Raja Pidie. Dari kejauhan saya melihat ada beberapa kendaraan roda dua yang membawa pulang mayat yang sudah dibungkus kain putih, sebagiannya dibungkus kain batik. Saya langsung yakin bahwa itu adalah mayat, kenapa? Wallahu a’lam.
Mobil kami pun terus melaju kencang dalam kondisi jalan yang sudah mulai padat. Sepanjang jalan, ibu saya terlihat menangis. Bagaimana tidak, kondisi Banda Aceh yang menjadi tujuan kami masih “gelap” dan kabur. Tidak ada informasi yang jelas bagaimana kondisi Kuta Raja, bahkan sopir L300 pun tidak tahu kemana mobil yang dibawanya akan berlabuh.
Perjalanan hari itu adalah perjalanan nekat. Pokoknya beutroh u Banda, kata ayah saya sewaktu menelepon sopir tadi pagi. Demi menjaga langganan, si sopir pun ikut-ikutan nekat aja. “Bereh nyan!” jawab sopir waktu itu.
Setelah menempuh perjalan beberapa jam, akhirnya sampailah kami ke Banda Aceh. Saya baru terjaga dari tidur setelah mobil memasuki wilayah Ulee Kareng. Pada malam itu, suasana gelap, suasana hiruk pikuk mulai terasa. Kami menyerahkan persoalan jalan kepada sopir, mau lewat mana saja boleh, yang penting kita sampai ke Darussalam, ke tempat adik dan istri saya bermukim.
Setelah sampai di rumah di Lorong Jati, Sektor Barat Kopelma Darussalam, kami pun keluar dari mobil. Suasana benar-benar gelap. Malam itu keberadaan adik dan istri saya belum terdeteksi. Suasana di Lampoh U lumayan panik. Sepeda motor GL Pro milik adik saya tergeletak di Mesjid Teungku Chiek Di Lamnyong.
Dalam kondisi yang serba tidak jelas, saya menyarankan agar kedua orang tua saya istirahat dulu. Setelah memastikan keduanya tertidur, saya pun berkeliling mencari tumpukan-tumpukan mayat di beberapa tempat dengan menggunakan GL Pro. Tapi saya tidak menemukan orang yang saya cari. Malam pun berlalu begitu saja.
Keesokan harinya, 28 Desember 2004 (hari ketiga), adik saya yang sudah masuk “DPO” menelepon bahwa mereka sudah berada di kampung (Bireuen) dengan selamat. Mereka menumpang mobil entah milik siapa pada hari kami berangkat ke Banda Aceh. Alhamdulillah, kabar ini membuat ibu saya sedikit tersenyum. Namun, karena satu lagi belum terdeteksi – istri saya, pada hari itu saya masih melanjutkan pencarian dengan menggunakan GL Pro.
Saya menyisir ke tempat-tempat pengumpulan mayat, tapi tidak ada hasil, karena kondisi mayat yang tidak bisa dikenali dan sudah mulai membusuk. Saya juga menyaksikan banyak mayat yang masih tergeletak dengan berbagai posisi bersama tumpukan sampah. Mobil dan pepohonan berserakan di jalanan. Beberapa gedung tampak rusak dan hancur. Parah!
***
Waktu terus melaju tanpa sejenak pun berhenti. Jam di tangan saya menunjukkan pukul 5 sore. Tidak ada yang bisa diandalkan waktu itu, orang-orang sibuk dengan urusannya sendiri. HP pun tidak berfungsi dengan baik. Akhirnya saya memutuskan untuk meluncur ke Gampong Pineung, ke rumah famili istri saya.
Menurut informasi tuan rumah, istri saya sudah pulang kampung sehari setelah tsunami. Kepanikan pun berkurang 50% karena sampai saat itu HPnya belum aktif. Menjelang Magrib saya pun kembali ke Darussalam. Saya menyarankan orang tua saya untuk pulang ke Bireuen karena dua target (adik saya) sudah terdeteksi.
Keesokan harinya, 29 Desember 2005, kedua orang tua saya dijemput L300 dan segera meluncur ke Bireuen, sedangkan saya memutuskan untuk bertahan beberapa hari lagi.
Saya pun kembali berkeliling Banda Aceh untuk mencari kabar tentang kawan-kawan saya yang terkena musibah. Beberapa di antaranya dikabarkan meninggal dan hilang dalam gelombang tsunami. Kedahsyatan tsunami hanya saya dengar dari beberapa saksi hidup yang saat itu terkonsentrasi di tempat penampungan. Saya sendiri tidak pernah menyaksikan gelombang itu, sedahsyat apa wallahu a’lam. Namun dilihat dari kerusakan yang terjadi, tentu kita bisa membayangkan sendiri bagaimana kepanikan yang melanda manusia pada hari itu (26 Desember). Maha Suci Allah, ketika Dia berkehendak, tak siapa pun dapat menolak dan takdir pun terjadi.
Pada 30 Desember sekira pukul 17 sore, saya memutuskan untuk kembali ke Bireuen. Saya menuju Simpang Galon Darussalam untuk mengisi bensin. Setibanya di Simpang Galon saya melihat keponakan saya (anak dari sepupu) menjual bensin. Saya minta dia isikan 2 liter sebagai bekal pulang, sisanya rencananya saya isi di SPBU. “Uroe nyoe 12 ribe silite, OM,” (hari ini 12 ribu perliter OM) kata keponakan saya. Mendengar harga yang “fantastis”, saya pun balik bertanya, “Pakon meuhai that kapeubloe?” (Kenapa mahal sekali kamu jual?). “Pajan sit lom tamita peng meunyo kon jino” (kapan juga kita dapat uang kalau tidak sekarang), jawab keponakan saya. Akhirnya, karena terpaksa, dan isi dompet pun kritis, saya minta dia isi satu liter saja. Lalu saya pun meluncur dengan GL Pro yang masih berlumpur.
Dalam perjalanan, saya masih teringat harga bensin 12 ribu perliter. Saya berpikir, untuk saya OMnya saja dia jual 12 ribu, bagaimana untuk orang lain? Begitulah, kesempatan dalam kesempitan. Berengsek!
Saya memasuki Seulawah sekira pukul 8 malam, lampu GL Pro tidak berfungsi. Saya terus melaju dalam kegelapan, tanpa cahaya dan hanya menggunakan perasaan. Tiba-tiba di belakang saya muncul L300, saya pikir dia akan menyalip, tapi dugaan saya salah. L300 yang mulia hati itu terus berjalan santai di belakang dan memberikan cahaya lampunya ke arah GL Pro.
Saya merasa seperti jadi “orang besar” yang mendapat pengawalan voorrijder. Mungkin si supir merasa kasihan melihat GL Pro yang penuh lumpur, dipikirnya saya korban tsunami, maka ditolongnya. Dia menyumbangkan cahaya sepanjang jalan sampai ke Bireuen. Alhamdulillah, saya dibantu oleh orang yang tidak saya kenal. Berbeda dengan keponakan saya – si penjuang bensin 12 ribu!
Tepat pukul 11 malam saya pun tiba di kampung dengan selamat. Keesokan harinya saya bergerak menuju Bungkaih, ke rumah mertua (masih calon) untuk memastikan keberadaan istri saya (calon). Tuan rumah memberi tahu saya, bahwa dia sekarang di Batam, ke tempat Pak Ciknya. “Kakeuhlah,” jawab saya.
Kemudian saya menelpon istri saya (calon), “Hai pat?” (di mana?) tanya saya. “Lon di Batam” (saya di Batam), jawabnya dengan seribu kesantaian. “Pacon han capeugah balokon,” kata saya dalam hati. Mungkin inilah yang disebut “perjuangan tiada henti ala Jampoek”.
Akhirnya saya pun kembali lagi ke kampung dengan GL Pro yang masih berlumpur. Sepanjang jalan, hampir semua mata melirik ke arah GL Pro yang sudah lage moto mu’ue (traktor).
***
Dua hari berada di kampung, tiba-tiba pada satu malam tersebar berita bahwa air laut sudah naik sampai Pulo Naleung (kampung tetangga). Seisi kampung pun heboh dan segera bergegas. Kami sekeluarga pun berangkat ke arah Kota Bireuen. Sesampainya di jalan raya, beberapa Panser milik pasukan Kostrad yang saat itu bermukim di bekas PLN Cot Bada berpatroli dan meminta masyarakat kembali ke kampung. “Air naik itu kabar bohong,” teriak beberapa tentara. Dan kami pun kembali ke rumah masing-masing.
***
Musibah gempa dan tsunami yang melanda Aceh pada 26 Desember 2004 akan melahirkan banyak cerita. Utamanya adalah cerita duka, di mana orang-orang yang disayangi telah dijemput oleh-Nya bersama gelombang. Meskipun saya tidak sempat menyaksikan keganasan gelombang itu, dan tidak ada keluarga yang menjadi korban, tetapi duka itu tetap ada. Banyak kawan-kawan dan sahabat saya yang menjadi korban, sebagian dari mereka tidak ditemukan jasadnya sampai sekarang. Allahummagfirlahum warhamhum. Semoga Allah menempatkan mereka di tempat yang layak di sisi-Nya. Wallahul Musta’an.[]
0 Comments