Bagi yang pernah merasakan hidup sebagai anak kos dan jauh dari kampung, pasti memiliki banyak cerita.
Tak peduli sejauh mana kita merantau, tapi sebagai anak kos tentunya kita memilik cerita yang hampir sama, meskipun tidak persis.
Dulu, ketika masih ngekos di Darussalam untuk kepentingan kuliah, sama seperti yang lain, saya juga mengalami sebagaimana kondisi umumnya anak kos. Padahal saya termasuk kategori “setengah ngekos,” sebab tinggal di rumah sendiri, cuma saja jauh dari orang tua.
Meskipun mendapat kiriman uang dalam jumlah memadai untuk ukuran ekonomi sederhana, sebagai anak kos, saya tetap saja menghadapi masalah keuangan menjelang akhir bulan.
Selama menjadi anak kos, saya memang berusaha untuk berhemat semampunya. Namun demikian, sehemat-hematnya anak kos tetap saja ada “insiden” yang bermuara pada “kekurangan stok.”
Karena kondisi keuangan yang terus menipis dari hari ke hari, menjelang akhir bulan saya memperketat aksi penghematan, khususnya di bagian makan minum.
Menjelang akhir bulan, untuk sarapan, saya tetap makan nasi bungkus di warung sembari menikmati kopi pancung. Sementara untuk makan siang saya biasa membeli ikan yang berukuran panjang di warung Darussalam. Saya tidak mau tau nama ikannya, pokoknya harus panjang. Sementara kuah saya beli terpisah dalam kantung plastik.
Sesampai di rumah, ikan panjang tadi saya potong menjadi dua bagian. Kuah juga saya bagi dua bagian. Satu bagian ikan dan kuah saya makan di waktu siang, sementara sisanya saya simpan untuk makan malam.
Karena aksi hemat tingkat tinggi ini terus saya lakukan menjelang akhir bulan, si pemilik warung pun sudah mulai “menghafal” kebiasaan ini. Setiap saya ke warung, dia selalu menyambut saya dengan kalimat ulok, “Tameng ju, na eungkot panyang (silakan masuk, ada ikan panjang).
Akhirnya oleh si pemilik warung, saya dikenal sebagai parte blo eungkot panyang (pembeli ikan panjang). Saya tetap bersyukur, sebab dengan cara seperti ini saya bisa tetap bertahan sampai akhir bulan.
0 Comments