Kebenaran pernyataan tersebut terletak pada realitas yang kita temui di dunia ini, di mana sebagian kita memang bersandiwara. Sementara kesalahan pernyataan ini ada pada vonis tentang “keharusan” bersandiwara di dunia.
Pada hakikatnya dunia bukanlah tempat bersandiwara, tapi kitalah yang mengubahnya menjadi panggung sandiwara. Bahkan kita berlomba untuk saling bersandiwara.
Bicara sandiwara adalah bicara tentang kepura-puraan, kebohongan dan kemunafikan.
Pada dasarnya, kita semua membenci kepura-puraan, tapi di waktu yang sama kita juga menikmati kepura-puraan.
Kita yang tidak tahu apa-apa terkadang berlagak “maha tahu” agar diketahui sebagai yang paling tahu.
Sosok yang dalam kesehariannya “maha pelit” bisa saja berubah menjadi dermawan di hadapan orang banyak.
Demikian pula dengan seorang koruptor dan pencoleng uang negara bisa saja menampilkan diri sebagai sosok paling saleh ketika berada di masjid.
Pada hakikatnya, beberapa laku demikian hanyalah kepura-puraan belaka. Kita semua sadar akan kepura-puraan ini, tapi kita tetap saja menikmatinya. Dalam kondisi inilah dunia disebut sebagai panggung sandiwara.
Semua kita berpotensi untuk terjebak dalam kepura-puraan, sebab dunia memang membuka peluang untuk itu.
Malam ini, saya juga sedang hanyut dalam kepura-puraan. Saya kembali menyamar sebagai pecinta bola.
Di sebuah warkop kawasan Ulee Kareng, saya memilih kursi paling depan untuk menonton pertandingan antara Argentina dan Kroasia. Sebenarnya saya tidak serius menonton, tapi hanya berpura-pura agar dianggap sebagai pecinta bola.
Padahal saya hanya ingin melihat Maradona, tapi dia tidak kelihatan. Akhirnya dengan tetap melirik ke layar monitor, saya memanfaatkan kepura-puraan ini untuk menulis postingan yang sudah pasti tidak berkualitas.
0 Comments