Sebagai manusia yang “dilengkapi” dengan berbagai kekurangan, kita tentu sering melakukan kesalahan, baik sengaja atau pun tidak. Salah satu kesalahan yang sering kita lakukan adalah “salah paham.”
Mungkin kita sering salah paham ketika melihat orang-orang sering memuji kita dengan pujian setinggi langit. Kita pun berpikir bahwa pujian itu sebagai penegasan kecintaannya kepada kita. Dan kita tidak sadar jika pujian itu hanya bualan belaka guna mempercepat kejatuhan kita yang telah larut dalam kegirangan. Kita salah paham.
Ketika masih kecil, mungkin kita juga sering membentak orang tua hanya karena mereka melarang kita naik pohon. Kita berpikir mereka membenci kita yang sedang lezatnya bermain di atas pohon. Kita salah paham.
Dan masih banyak lagi kesalahpahaman lainnya yang sering kita jumpai. Terkadang kita sebagai pelaku yang salah memahami orang lain. Di lain waktu, mungkin giliran orang lain yang keliru memahami kita.
Pada dasarnya, kesalahpahaman diawali oleh salah pikir dan salah nalar. Kesalahan pikir dan nalar ini biasanya terjadi dalam kondisi emosi yang tidak stabil. Ketidakstabilan inilah yang kemudian menyebabkan seseorang terburu-buru dalam membuat kesimpulan. Akhirnya kesimpulan itu pun jauh panggang dari api.
Bagaimana dengan Tulisan?
Sebagai sebuah karya yang dihasilkan oleh manusia, tulisan juga sering melahirkan kesalahpahaman. Terkadang ia ditulis dengan maksud yang benar, tapi dipahami dengan salah oleh pembaca. Akhirnya penulislah yang dianggap salah atas kesalahpahaman pembaca.
Di antara sebab terjadinya kesalahpahaman dalam menyimpulkan sebuah tulisan adalah “keterburuburuan.” Dalam kondisi tersebut, si pembaca biasanya menggunakan “nalar minimalis” sehingga maksud teks pun terabaikan.
Atau mungkin pula si pembaca mencoba memantulkan alam pikirnya ke dalam teks sehingga pemahamannya terhadap teks tersebut telah disesuaikan dengan alam pikirnya sendiri.
Faktor lainnya bisa saja berasal dari penulis sendiri. Hal ini biasanya ditandai dengan menjamurnya kalimat-kalimat bias dalam tulisan sehingga memunculkan beragam interpretasi dari pembaca.
Namun demikian, kesalahpahaman pembaca justru sering terjadi dalam teks-teks yang lugas dan jauh dari metafor. Hal ini disebabkan oleh tidak cermatnya pembaca dalam menangkap maksud teks.
Tulisan di Steemit
Beberapa hari lalu, saya menulis sebuah tulisan dengan tajuk Kembali Menjenguk Facebook.
https://steemit.com/indonesia/@tinmiswary/kembali-menjenguk-facebook-ac11fe48219e2
Dalam tulisan itu, saya menjelaskan tentang aktivitas saya di Facebook yang menurun pasca bergabung dengan Steemit. Saya juga sudah membuat penegasan bahwa saya bukan ingin meninggalkan Facebook dalam pengertian “tutup akun,” tapi hanya ingin mengurangi kebisingan belaka. Sebab, selama mengenal Steemit, saya memang sudah kurang tertarik dengan kebisingan di media sosial. Pendeknya, saya ingin menjadi “netizen sufi.”
Dalam tulisan itu, saya juga sama sekali tidak membahas tentang persoalan sosial tidak sosialnya Steemit. Sama sekali tidak ada teks dalam tulisan saya yang bisa dipahami seperti itu.
Tapi, seperti telah kita singgung di awal, bahwa sebagian pembaca telah salah memahami teks yang saya sajikan. Namun demikian, saya tetap menghargai hal tersebut sebagai bagian dari otoritas pembaca dalam melakukan interpretasi.
Akhirnya, untuk menghibur diri, saya pun teringat pada perkataan Jean Paul Sartre, bahwa seseorang disebut sebagai penulis besar pada saat tulisannya misunderstood. Artinya, ketika tulisan-tulisan kita sudah salah dipahami, maka kita telah menjadi penulis besar. Hahaha…
0 Comments