Gerimis yang jatuh di langit itu telah menjalani beberapa proses untuk kemudian menitik menyentuh bumi.
Nasi yang saban hari kita santap pun telah melalui rantai panjang yang sambung menyambung sebelum ia dihidangkan ke hadapan kita.
Dan seburuk-buruk perumpamaan adalah “material kuning” yang setiap pagi kita tumpahkan dari “lubang hitam.” Dia pun tidak keluar begitu saja tanpa proses yang lumayan “pelik.”
Kita hadir ke dunia ini juga bukan *siklep siklap* alias *bin salabin,* tapi melalui perjuangan tiada henti dari tetesan mani dan seterusnya sehingga jadilah kita sebaik-baik rupa.
Di dunia ini, kita pun dihadapkan pada dua bayangan kembar; berjuang untuk hidup dan hidup untuk berjuang. Tanpa perjuangan kita tidak akan pernah hidup, dan hidup akan hampa jika tidak diisi dengan perjuangan.
Kita hidup di bumi manusia, bukan di “kandang” Aladin yang *hap hip hup –baaa…*
Perjuangan adalah modal dan kesuksesan adalah laba. Omong kosong jika kita merindukan laba tapi menafikan modal. Sekali lagi, seperti kata Pram, ini bumi manusia!
Perjuangan akan membuat kita “terangkat,” sementara kemanjaan akan membuat kita “terpuruk” dan bahkan *tersuruek* dalam lubang “kecengengan.”
*Bagaimana dengan Steemit?*
Steemit adalah media sosial yang tumbuh dan berkembang di alam maya. Dengan kata lain, Steemit adalah bayangan dari dunia nyata.
Sisi perbedaan dunia ini hanya pada “kehadiran” kita. Jika dunia nyata menuntut “kehadiran fisik,” maka di dunia maya hanya menuntut “kehadiran pikir.”
Seperti dunia nyata yang penuh dengan perjuangan tiada henti, di dunia maya pun begitu.
Di dunia nyata, untuk mengeluarkan suara, kita butuh menggerakkan mulut. Di dunia maya pun demikian, butuh tarian jari untuk “mengeluarkan status.”
Gerak mulut dan tarian jari adalah wujud perjuangan paling ringan agar kita tetap “hidup.”
Jangan pernah merindukan suara tanpa gerakan mulut dan perangkat-perangkatnya. Dan jangan pula memimpikan sebuah “status” di media sosial tanpa gerakan jari, mata dan pikir.
Steemit sebagai bagian dari alam maya juga menuntut perjuangan, bukan kemanjaan.
Setumpuk makanan yang tersaji di meja tidak akan pernah mampu mengubah perut lapar menjadi kenyang, sebelum kita kunyah dan telan.
Demikian pula dengan *reward* di Steemit, atau seperti kata @bahagia-arbi, “uang yang beterbangan” itu tidak akan pernah kita peroleh tanpa kreativitas dari kita sendiri.
Dengan demikian, jangan pernah salahkan orang lain hanya karena kita “kelaparan,” sementara makanan itu tak pernah kita kunyah.
Atau, jangan pernah menyalahkan Steemian lain hanya karena kita “kekurangan” *upvote,* sementara kita sendiri tak pernah berjuang dan selalu saja larut dalam kesedihan.
Sampai kapan pun, wajah muram tidak akan pernah mampu menarik perhatian siapa pun. Sebab itu bergembiralah, agar orang-orang berani “merapat.”
Demikian dulu Tuan dan Puan Steemians, lain waktu disambung kembali…
0 Comments