Tulisan-tulisan yang tak bisa dikirim ke media tersebut bukan terkendala oleh kualitas yang sama sekali subjektif, tapi ada “sesuatu” di sana sehingga akan sulit diterima oleh media. Dalam kondisi inilah blog menjadi “senjata” untuk menghempas segala pikiran agar ia terbang melayang dan menyebar.
Pada 2015, saya pernah mengirimkan tulisan bertajuk Syariatisasi Media ke sebuah koran lokal terbesar di Aceh. Tulisan tersebut “gagal” terbit. Saya yakin bukan soal kualitas, tapi ada “sesuatu” yang mungkin membuat mereka tak nyaman.
Dalam tulisan itu, saya mengkritik beberapa media cetak di Aceh yang sama sekali belum “tersyariatkan” sementara hampir saban hari mereka mengampanyekan syariat Islam di koran mereka.
Tidak hanya tulisan itu, tapi banyak tulisan lain yang mengalami nasib serupa. Dan, tidak hanya saya, kita semua juga sering mengalami “kepahitan” ini. Penulis tempo dulu pun begitu, ramai yang terpaksa membuat penerbitan sendiri, karena tulisannya ditolak redaksi.
Dalam peradaban Android seperti sekarang ini, blog bisa menjadi medium pengganti penerbitan di masa lalu. Pada saat tulisan ditolak diabaikan atau didiamkan media, maka blog menjadi penawar.
Blog juga bisa digunakan sebagai pusu atawa “pelontar” yang akan “melempar” tulisan kita secara cepat sampai jauh, tanpa harus menunggu pertimbangan redaksi yang terlalu lama atau malah berlama-lama.
Melalui blog kita bisa merespons berbagai fenomena dengan tepat waktu sebelum isu-isu itu hilang tenggelam atau ditenggelamkan isu lain yang terus bermunculan tiada henti.
Blog adalah peluru terakhir.
0 Comments