Tanpa sadar, kita telah terpental dan tersepak dari dunia nyata, dunia yang benar-benar menghadirkan rasa. Kita telah dipencil, atau memencil diri ke dunia baru yang tanpa rasa.
Boleh sepakat, boleh tidak; media sosial telah sukses membunuh kehadiran kita di alam nyata untuk untuk kemudian disingkir paksa ke alam maya yang wujudnya tak teraba.
Kita telah ditipu atau menipu diri dengan sosialita semu. Hanya tubuh belaka yang terpacak di alam nyata, sementara pikir dan rasa telah hilang ke alam maya.
Yang tersisa hanyalah senyuman-senyuman palsu dan tangisan-tangisan munafik. Rasa sosial telah termanipulasi oleh kehadiran media sosial yang sama sekali tak sosial.
Dulu, ketika kita sakit, sanak dan teman akan datang menjenguk sembari menghibur bahwa kita akan segera sembuh.
Dulu, ketika tertimpa musibah; rumah kebanjiran atau terbakar, tetangga dan sahabat-sahabat yang jauh akan datang membantu; mengungsikan barang atau memadamkan api.
Dulu, ketika kita dicopet, dirampok, orang-orang segera mencari kayu dan batu sebagai senjata untuk membantu kita.
Sekarang, ketika sakit, kita terangsang, mengunggah foto di media sosial. Kemudian teman-teman kita memberi komentar: “Adduh, kenapa? Cepat sembuh ya.” Padahal rumahnya hanya satu meter dengan rumah kita. Dan kita pun begitu.
Sekarang, kalau rumah kita kebanjiran atau terbakar, kita juga mengunggah di media sosial. Tetangga kita memberi komentar: “Semoga air segera surut” atau “Cepat padam apinya.”
Sekarang, kalau kita dicopet atau dirampok, kita pun menyempatkan diri untuk *”selpi”*; “Aku dirampok.” Sementara orang di sekitar pun sibuk “potrat-potret” dan mengunggah di media sosial sambil menulis kalimat sendu: “Kasihan ibu ini, sadis sekali perampoknya. Mohon share dan doakan perampoknya tertangkap.” *Bagbudig*.
Begitulah Tuan dan Puan. Media sosial telah memusnahkan rasa sosial sampai ke akar-akarnya.
0 Comments