Saya diminta untuk memberikan sedikit materi tentang penulisan opini di media massa. Ini adalah permintaan kedua setelah sebelumnya tertunda karena saya sedang berada di Banda Aceh.
Saya tiba di lokasi acara pukul 15.20, lebih cepat 10 menit dari jadwal. Ini adalah “prosedur pribadi” yang saya buat sendiri, hadir 10 menit sebelum acara, atau tidak hadir sama sekali.
Sampai di sana, saya mengontak panitia melalui pesan WA. Kata panitia, peserta yang hadir baru dua orang. Karena tidak mungkin memberikan materi untuk dua orang, saya pun menunda masuk ruangan. Saya memilih mengecap kopi di sebuah kantin sembari menunggu kehadiran peserta lain minimal 10 orang.
Beberapa menit kemudian, panitia kembali mengirim pesan bahwa peserta yang hadir sudah lebih 10 orang. Setelah menyerahkan sejumlah rupiah, sebagai harga kopi kepada penjaga kantin, saya pun bergerak cepat ke ruang acara.
Sampai di sana, peserta telah duduk manis di kursi masing-masing. Karena azan Ashar akan berkumandang beberapa menit lagi, maka acara ditunda setelah shalat.
Selepas shalat, acara pun dimulai. Saya bergerak ke meja depan dan berusaha duduk “semanis” mungkin.
Setelah mengeluarkan laptop, saya mulai memberikan sedikit materi kepada peserta. Materi yang berisi tentang pengenalan opini, cara merespon isu dan sebagainya sudah saya ringkas seringkas-ringkasnya.
Dalam pikiran saya, materi tidak harus panjang lebar. Saya tidak ingin mereka menjadi “penghafal” materi, sebab menulis adalah kerja praktik, bukan menghafal trik “begana” dan begini.
Setelah menjelaskan sedikit materi tentang cara merespon isu melalui opini di media, saya pun mencoba bertanya kepada mereka, apakah mereka sudah menulis. Sebagian menjawab sudah dan sebagian menjawab belum. Menurut saya, pertanyaan ini penting guna mengetahui apakah mereka sudah beraksi atau masih “sibuk” dengan teori.
Kemudian saya melanjutkan pertanyaan, apakah sudah ada tulisan mereka yang terbit di media. Ternyata beberapa peserta sudah pernah mengirim tulisan ke media, dan terbit. Ini adalah pencapaian yang luar biasa.
Melihat kondisi ini, menurut saya, sudah saatnya mereka terus aktif menulis dan tidak lagi “melalaikan” diri dengan teori yang panjang lebar.
Saya pribadi sebenarnya agak “malas” mengisi pelatihan menulis, sebab saya sendiri masih terus belajar dan belajar, meskipun bukan melalui pelatihan dan sekolah menulis.
Meskipun sempat mengisi beberapa pelatihan, sebenarnya saya “malu” mengajarkan orang lain tentang cara menulis, sebab saya sendiri belum yakin kalau saya ini bisa menulis.
Untuk kelas FAMe sendiri, sejujurnya saya “kurang berminat” untuk mengisi materi, selain karena “kurang mampu,” juga ada persoalan lain.
Meskipun bukan “sosialis,” tapi saya sangat anti kepada “pembagian kelas,” sebab saya pendukung “egalitarianisme.”
Jujur saja, saya melihat (maaf) ada pola “elitisme” dalam benak oknum petinggi FAMe yang membuat klasifikasi pemateri sebagai recommended dan not recommended. Dan saya sangat anti dengan pola-pola seperti ini.
Namun demikian, saya memberikan apresiasi kepada seluruh anggota FAMe agar terus aktif belajar dan terus menulis, tidak hanya untuk kebangkitan literasi, tapi juga demi “keabadian,” seperti kata Pram.
0 Comments