Melalui media sosial kita benar-benar dipaksa menjadi penonton yang saban hari harus duduk manis sembari menatap episode-episode kegilaan yang tak ada habis-habisnya. Mungkin ada yang sok bijak meminta agar akun penyebar kegilaan kita blokir. Ini mustahil, sebab kita juga harus memblokir akun kita sendiri.
Untuk kategori pendukung capres misalnya; mereka sama-sama menghadirkan kegilaan. Yang satu menyebut yang lain gila, saling tunjuk dan saling tuding. Mereka tidak sadar kalau keduanya sama gilanya. Kelompok yang satu mendukung ganti presiden dan kelompok lainnya tidak bersedia presidennya diganti.
Perdebatan antarpenggila ini berlangsung hampir di seluruh jengkal tanah Indonesia. Satu pihak mengelar aksi ganti presiden sementara pihak lain datang mengadang. Satu pihak menuduh gerakan ganti presiden sebagai makar sementara pihak lain menuding penuduh sebagai otoriter dan tidak demokratis.
Aceh yang selama ini terlihat santai pun sudah mulai tergoda dengan aksi-aksi di luar sana. Semuanya berawal dari media sosial yang kemudian menemukan wujudnya di alam nyata.
Uniknya kemarin beredar video di media sosial terkait aksi ganti presiden. Saya menyebut unik sebab terjadi di Aceh. Dalam video itu beberapa orang betopeng mencoba menggertak kelompok ganti presiden yang kononnya akan menggelar aksi di Aceh. Belum lagi sampai satu hari, muncul pula video tandingan yang mengecam kelompok bertopeng. Lawak?
Terlepas dari apa yang terjadi, saya berkesimpulan bahwa kegilaan-kegilaan ini patut dicatat dan dibukukan dengan rapi. Gumpalan-gumpalan kegilaan menjelang Pilpres 2019 akan menjadi penanda bahwa kita semua pernah merasakan kegenitan demokrasi yang tiada tara.
Seratus tahun nanti, catatan-catatan ini akan menjadi hiburan bagi anak cucu kita. Catatan ini akan menjadi warisan terbesar yang akan diperebutkan oleh generasi Indonesia satu abad ke depan.
Dari catatan inilah mereka akan belajar bagaimana caranya kegilaan itu dirawat.
0 Comments