Yang menjadi persoalan sekarang, kapan kita harus pintar dan kapan pula kita harus bodoh? Idealnya, kita memang harus selalu pintar tanpa sekali pun harus bodoh. Tapi dalam kenyataannya, hampir semua kepintaran diawali oleh kebodohan. Ketidaktahuanlah yang mendorong kita untuk mencari, menggali dan menemukan pengetahuan. Singkatnya, tidak ada kepintaran tanpa kebodohan. Dengan kata lain, kebodohan adalah kepintaran yang belum berkembang, atau kepintaran paling awal.
Merujuk pada ulasan tidak jelas di atas, kebodohan bukanlah kehinaan, tapi awal dari kemuliaan. Demikian pula dengan kepintaran, juga bukan kemuliaan yang berdiri sendiri, tapi akhir dari kehinaan. Kedua kondisi tersebut; kehinaan dan dan kemuliaan sama-sama berdiri pada batas kesadaran. Demikian pula dengan kebodohan dan kepintaran juga berada di titik batas; keduanya saling bertukar ganti. Kebodohan hilang, muncul kepintaran. Kepintaran lenyap, datang kebodohan. Akhirnya, tidak ada kebodohan yang pintar; dan tidak ada kepintaran yang bodoh. Keduanya tidak berpadu, tapi beradu.
Nah, apakah kepintaran harus ditunjukkan? Adakalanya memang kita harus menunjukkan diri sebagai pintar, walaupun sebenarnya kita bodoh. Strategi ini disebut sebagai sok pintar. Aksi sok pintar ini menjadi penting ketika kita berhadapan dengan keangkuhan orang-orang pintar. Jika kita menunjukkan kebodohan di hadapan orang-orang pintar yang angkuh, maka kita pun akan semakin dibodohkan. Dia akan bergembira dan berleha-leha di atas kebodohan kita. Dalam kondisi inilah sok pintar menjadi senjata pamungkas yang akan menghantam dan membenamkan keangkuhan orang-orang pintar.
Bagaimana dengan kebodohan? Apakah harus dipamerkan? Dalam kondisi tertentu ketika menghadapi orang-orang tertentu, terkadang kita juga harus tampil bodoh, sebodoh-bodohnya dan sebangai-bangainya. Strategi ini bolehlah kita namai sebagai sok bodoh. Tidak ada gunanya berbicara sok pintar di hadapan orang-orang yang berpura-pura bodoh atau telah memilih kebodohan sebagai jalan hidup.
0 Comments