Politik di pentas demokrasi layaknya air yang akan mengikut bentuk wadah. Ia terus menyesuaikan diri sesuai selera zaman yang terus berubah. Demokrasi tidak hanya mencairkan sistem politik, tapi juga mencairkan manusia-manusia yang terlibat di dalamnya. Prinsip sekeras batu pun akan menemui ajalnya dalam pusaran demokrasi.
Ketika ruang politik praktis telah mencair, kita pun akan berhadapan dengan ketelanjangan-ketelanjangan yang semakin liar. Ketelanjangan ini akan membuka semuanya seterang-terangnya sehingga kebusukan yang dulunya terpendam pun memencar keluar. Tak ada yang bisa menghalangi ketelanjangan di pentas politik, sebab ia telah membuka diri untuk ditonton oleh berjuta lirikan mata.
Dalam ruang politik praktis yang berselimut demokrasi, ketelanjangan menjadi pilihan bagi siapa saja yang terjebak di dalamnya. Tidak hanya bertelanjang diri, tapi insan-insan politik juga akan berupaya menelanjangi siapa saja yang diyakini sebagai layak ditelanjangi.
Seorang kiyai boleh saja menjadi “raja” yang suci di hadapan santri-santrinya, tapi di hadapan politik praktis, “kesucian” itu bisa luntur seketika melalui aksi penelanjangan yang tidak bisa dibendung. Kebaikan-kebaikannya yang telah menyebar akan tenggelam dan kesalahan-kesalahannya yang terdalam dan tersembunyi akan menyeruak melalui penelanjangan.
Seorang yang dikenal bersih dan jujur di luar sana dalam seketika bisa kehilangan marwahnya pada saat ia menceburkan diri dalam politik praktis. Kejahatan-kejahatannya yang dulunya terkubur seketika akan terkuak melalui penelanjangan.
Dalam kondisi ini hanya dua pilihan tersisa; membiarkan diri ditelanjangi atau membalas dengan ikut menelanjangi. Akhirnya semua telanjang.
0 Comments