Setidaknya sekali dalam seumur hidup pasti kita pernah mengalami menceret. Jika pun ada manusia yang tidak pernah mengalami menceret, maka ia patut bersedih, sebab ia telah gagal mengalami satu fase penting dalam hidupnya. Dengan demikian, ia pun gagal menjadi manusia “sempurna” karena ketiadaan menceret.
Dalam penilaian banyak orang di dunia ini, menceret adalah satu petaka. Menceret adalah kepedihan. Menceret adalah penyakit dan seterusnya. Jujur, saya merasa kasihan melihat mereka yang berkesimpulan demikian. Mereka hanya melihat menceret dari sudut pandang parsial sehingga melahirkan interpretasi yang negatif dan bahkan destruktif.
Padahal, seperti kata Jean Marais kepada Minke dalam Bumi Manusia yang lahir dari imajinasi Pramoedya Ananta Toer, “kita harus adil sejak dalam pikiran.” Mungkin akan butuh penjelasan panjang lebar untuk melahirkan interpretasi yang tepat bagi kalimat bernuansa autokritik ini. Tersebab itu, saya hanya ingin meminjam pernyataan itu untuk dikaitkan dengan kata menceret.
Merujuk pada kutipan itu, saya hanya ingin mengatakan bahwa kita telah bersikap tidak adil kepada menceret sejak dalam pikiran. Kita telah menegasikan kebaikan-kebaikan menceret dengan hanya memosisikannya sebagai petaka belaka. Padahal dalam realitasnya, menceret juga telah berjasa menghadirkan kebahagian, kenikmatan dan kegembiraan.
Ketika sekolah dulu, kita bisa dengan mudahnya bolos belajar dengan alasan menceret. “Kenapa kamu tidak sekolah kemarin?” Dengan tenang kita menjawab: “Menceret, Pak!” Akhirnya kita pun terbebas dari hukuman berdiri satu kaki atau tugas membersihkan WC.
Ketika bulan Ramadhan, kita dengan santainya bisa absen tarawih dengan alasan menceret. “Cepat ke masjid!” Dengan sedikit mengerang kita mengajukan jawaban: “Menceret, Bu! Demikian pula ketika guru Matematika meminta kita ke depan, kita langsung berlari sambil berseru: “Permisi, Pak. Menceret!” Demikian seterusnya.
Dalam kondisi tersebut, menceret telah membebaskan kita dari rutinitas dan kewajiban. Hebatnya lagi, menceret juga telah mampu menyelamatkan kita dari berbagai tragedi semisal menyelesaikan soal Matematika di bawah ancaman mistar kayu yang tiba-tiba saja bisa mendarat di punggung ketika soal di papan tulis tak terjawab.
Menceret adalah alasan paling efektif untuk menghindari sesuatu dan bahkan ia telah menjadi salah satu strategi praktis yang paling ampuh untuk diajukan kepada siapa pun. Menceret selalu saja diterima sebagai alasan tanpa reserve, sebab mereka sangat memahami mekanisme menceret dan konsekuensi yang harus ditanggung jika menghalangi orang menceret.
Seperti kita rasakan sendiri bahwa menceret adalah aktivitas mendadak yang tidak bisa direncanakan dan sulit pula dikendalikan. Menceret membutuhkan penyelesaian segera dan bersifat emergency yang tidak bisa ditunda-tunda. Konsekuensi paling ringan dan memalukan dari menunda menceret adalah munculnya warna kuning di celana. Jika sekadar warna tidak menjadi soal, tapi ia juga turut mengembuskan aroma yang tidak wajar.
Ulasan di atas hanya pengantar belaka guna memahami menceret dari segala aspeknya. Pemahaman tersebut penting agar kita tidak terus menerus ditipu oleh interpretasi maenstream yang cenderung menguatkan “status quo” sehingga melahirkan indotrinasi yang berakibat pada termarjinalnya menceret dalam kehidupan.
Menceretisasi di Pentas Politik
Di bagian ini, kita akan sedikit berbelok dan memutar haluan ke panggung politik. Kita tidak akan lagi membahas fenomena menceret sebagai aktivitas badani, tapi fokus kita akan beralih pada sifat-sifat menceret – yang entah sadar atau tidak telah masuk dan menyebar di pentas politik praktis dengan mewabahnya menceretisasi di kalangan oknum politisi.
Menceretisasi adalah sebuah proses kemenceretan mental yang mengidab sebagian oknum politisi kita di tanah air. Seperti halnya menceret badani, menceret rohani juga mengadopsi kaidah-kaidah dalam kejadian menceret disebut pertama. Menceret rohani yang notabene adalah penyakit mental menemukan wujudnya dalam sikap sebagian oknum politisi yang muncul “tiba-tiba” dan “tak terkendali.”
Politisi-politisi menceret ini telah menjadikan panggung politik sebagai medium untuk melakukan aktivitas menceretisasi. Dalam kondisi ini, publik diposisikan hanya sebagai penonton yang mau tidak mau harus menerima semburan menceret yang mereka semprotkan dalam aktivitas politik praktis.
Diakui atau pun tidak, di pentas politik praktis tidak ada pedangang, tidak ada profesor, tidak ada ulama dan tidak ada negarawan; yang ada hanyalah politisi yang mau tidak mau harus beradaptasi dengan lingkungan baru yang penuh persaingan dan nafsu kemenangan. Segala bentuk kedermawanan, kecerdasan dan bahkan kesalehan yang dipamerkan dalam pentas politik praktis hanyalah fatamorgana belaka sebagai penipu mata.
Siapa pun berpeluang menceret ketika berhadapan dengan aktivitas politik praktis. Penyakit menceret rohani ini tiba-tiba saja akan merasuk dalam pikiran mereka sehingga mereka pun tak kuasa mengendalikan kemenceretan-kemenceretan yang didorong oleh spirit ingin mengalahkan dan mimpi untuk meraih kemenangan.
Seorang oknum politisi yang dulunya dikenal ’alim dan bahkan dihormati oleh hampir seluruh rakyat akan kehilangan marwahnya ketika ia terlibat dalam menceretisasi. Tidak sedikit tokoh-tokoh yang dulunya disegani di luar arena politik justru tercemar ketika ia memilih mendukung politisi menceret, atau mungkin ia sendiri memilih menjadi politisi menceret.
Dulu, ketika dia dicela, dia diam dan ketika dihina, dia sabar. Tapi konyolnya ketika ia masuk ke dalam pentas politik praktis, ia pun menjadi politisi menceret yang saban hari menuding, mengejek dan bahkan merendahkan lawan-lawan politiknya. Pentas politik praktis telah mengubahnya menjadi politisi menceret yang sama sekali tidak mampu mengendalikan hati, pikiran dan ucapannya, seperti orang menceret yang tidak mampu menahan berak.
0 Comments