Di sebuah gubuk kecil yang hampir roboh tampak seorang laki-laki setengah baya sedang duduk terpaku. Tubuhnya kecil kerempeng. Rambutnya keriting dan kulitnya hitam, tapi tak sehitam rambutnya yang seperti aspal goreng. Laki-laki itu menggunakan kaus hitam berlengan panjang dengan motif compang-camping penuh lubang. Mungkin tukang jahit ternama pun tak akan mampu memperbaiki kaus terbaik yang pernah dimiliki laki-laki itu. Untuk menutup bagian bawah tubuhnya, ia memakai celana pendek yang juga berwarna hitam dengan lutut terbuka.
Gubuknya yang hampir roboh itu berdinding dan beratap terpal. Untuk urusan lantai si laki-laki itu masih memercayai tanah sebagai pijakan terbaik. Mungkin ada keyakinan dalam dirinya bahwa tubuhnya yang berasal dari tanah akan berpadu dengan tanah pula.
Di tengah hujan yang semakin lebat, si laki-laki itu terus duduk memeluk lutut. Tampaknya ia kedinginan, tapi tak menggigil. Mungkin ia sudah terbiasa hidup dalam kecamuk hujan dan petir yang menyala-nyala. Sudah sepuluh tahun ia menetap di gubuk itu. Seorang diri.
Di tempat lain, di sebuah istana yang tak begitu jauh dari gubuk si laki-laki itu, seorang raja terlihat sedang bersantai di ruang tamu. Ruang itu luas dan bersih. Ada beberapa kursi empuk di sana dengan meja penuh hidangan. Di dinding ruangan yang berwarna putih itu terlihat beberapa foto dirinya dengan raja-raja tetangga. Lampu di ruang tamu itu pun cukup memesona dan menggoda para maling untuk kapan-kapan mengangkutnya ke luar. Lampu itu entah buatan Perancis, Portugis, atau Swiss, tidak begitu jelas. Pokoknya ujungnya “is.”
Sembari mengisap cerutu terbaik dunia, si raja tampak duduk di sebuah kursi besar yang penuh dengan pernak-pernik istana. Tubuhnya tinggi tegap. Jenggotnya tercukur habis dengan kumis sebesar ubi. Matanya besar dengan alis tipis yang hampir memutih. Dia memakai kopiah hitam yang tampak memanjang ke atas dengan kemeja lengan panjang. Dia memakai sempak untuk menutup gantungan di bawah perutnya. Pakaian serupa itu telah menemaninya hampir sepuluh tahun, sejak ia menjadi raja di negerinya.
Di tengah hujan lebat yang belum juga reda, ia memanggil penggawa istana untuk menemaninya melakukan kunjungan. “Prajurit!” dia mulai bersuara. “Siapkan kuda terbaik! Aku ingin mengunjungi rakyatku,” sambung sang raja. “Siap Paduka,” sahut prajurit dari pojok ruangan.
Si prajurit terlihat melangkah ke luar istana mencari kuda pesanan raja. Dia memilih kuda berwarna hitam dan menuntunnya ke depan istana. Si prajurit terlihat basah kuyup.
Sambil menyeka mukanya yang basah, si prajurit menghadap sang raja. “Kuda sudah siap Paduka, tapi hujan masih lebat,” prajurit mencoba mengingatkan raja. “Demi rakyat, hujan tidak menjadi penghalang,” sahut sang raja dengan suara lantang.
Raja pun menaiki kuda dan berpacu di tengah hujan dan petir di bawah langit yang semakin gelap. Dengan kemeja lengan panjang, bersempak dan berkopiah, ia lebih mirip budak pelarian daripada seorang raja yang dihormati. Ia terus berpacu.
Dia berhenti di depan sebuah gubuk terbuat dari terpal. Si lelaki yang sedari tadi duduk memeluk lutut pun bangkit memberi hormat. Dari atas punggung kuda hitam, raja pun berseru. “Hai Jahilun! Kenapa kamu masih bercelana pendek? Apa kamu tidak tahu peraturan kerajaan?” tanya sang raja dengan suara menggelegar.
“Ampun Paduka,” sahut si lelaki, “bukankah Paduka pun bersempak?” dia balik bertanya.
“Brengsek kamu Jahilun! Berani kamu melanggar aturanku!
“Bukan begitu Paduka Majinun, tapi hanya pakaian ini yang hamba punya.”
“Aturan itu untuk kamu laksanakan, bukan untuk kamu diskusikan. Paham kamu, Jahilun?”
“Tidak paham Paduka Majinun.”
“Bagaimana supaya kamu paham?”
“Tidak tahu Paduka.”
Dengan wajah geram, sang raja kembali memacu kudanya kembali ke istana. Sementara si lelaki kembali duduk memeluk lutut.
Hujan sudah mulai reda dan malam pun telah tiba. “Hai Prajurit! Apa kamu salah memilih kuda untukku?” tanya sang raja begitu memasuki halaman istana. “Tidak Paduka, itu kuda terbaik yang kita punya,” jawab si penggawa dengan kepala menunduk. “Lantas kenapa rakyat tidak mendengarkan seruanku?” raja kembali bertanya. Si penggawa hanya diam membisu. Dia tidak memiliki stok jawaban yang bisa diajukan kepada raja yang sedang geram.
Raja pun memasuki istana dan melemparkan kopiahnya yang telah basah. Dia melepaskan kemeja dan meletakkannya di ruang tamu istana. Dia membuka sempak. Di remas-remasnya sempak itu dengan penuh amarah. Lalu dilemparnya ke tong sampah.
“Sudah sepuluh tahun!” dia berteriak sendiri tanpa seorang pun mengerti maksudnya.
“Sudah sepuluh tahun! Sempak! Sempak. Keparat!” sang raja terus berteriak.
“Sempaaaaaak!”
0 Comments