Tulisan ini hanya sekadar medium pengingat diri agar tidak terperosok ke dalam lubang kehinaan. Apa yang dialami oleh Ratna Sarumpaet hari ini bisa terjadi pada siapa saja dan di mana saja. Terlepas apakah Sarumpaet benar-benar berbohong atau tidak, yang jelas semua kita memiliki peluang yang sama untuk jatuh ke kubang kebohongan.
Agama dan akal memang melarang kita untuk berbohong, tapi terkadang nafsu membuat kita lengah sehingga teperdaya dengan bujuk rayunya. Dalam kondisi inilah kebohongan menemukan wujudnya, baik secara sadar atau pun tidak. Jika kewarasan masih tersisa, biasanya penyesalan akan segera datang. Sebaliknya jika hati bebal, maka yang muncul hanya pembelaan atas kebohongan dengan lahirnya kebohongan baru.
Sekali lagi, terlepas apakah pengakuan Sarumpaet atas kebohongannya itu benar atau tidak, yang jelas dia masih menyisakan kewarasannya dengan meminta maaf secara terbuka kepada publik. Dengan demikian segala bentuk “kelatahan” menjadi tidak layak dipertontonkan. Respons yang berlebihan hanya akan menjadi lelucon yang sama sekali tidak lucu.
Dengan menafikan apakah insiden hoax tersebut berada dalam ruang rekayasa politik atau tragedi alamiah, yang jelas tindakan menertawakan Sarumpaet sama halnya dengan meludah ke atas. Diyakini atau tidak, di era informasi yang serba bebas seperti sekarang ini, terbongkarnya sebuah kebohongan hanya soal giliran.
Terbongkarnya kebohongan orang lain seharusnya menjadi medium bagi kita untuk mengevaluasi diri. Bukan justru menertawakan, sebab menertawakan kebohongan orang lain akan membuka jalan bagi terbongkarnya kebohongan kita, cepat atau lambat.
0 Comments