Meskipun penyebaran informasi terkait pembakaran mapolssek ini sudah masuk ke media sosial, namun video dan informasi tersebut tidak sempat viral. Video dan informasi media tentang insiden tersebut hanya sesekali terlihat di beranda media sosial. Jika dicermati, “gagal” viralnya informasi ini disebabkan oleh perhatian publik yang masih tertuju pada “tragedi” pembakaran bendera bertulis kalimat tauhid di Garut. Insiden yang melibatkan oknum Banser ini tampak masih memonopoli beranda media sosial.
Sikap “mayoritas” publik, tak kecuali masyarakat Aceh – yang sebagian besarnya masih terfokus pada pembakaran bendera bertulis kalimat tauhid dan terlihat tidak memberi perhatian pada insiden Aceh Tamiang tentunya dapat dimengerti. Meskipun sama-sama aksi pembakaran, tapi kedua insiden tersebut memiliki latar belakang, tujuan dan objek yang berbeda satu sama lain.
Seperti diketahui, insiden pembakaran Mapolsek Bendahara Aceh Tamiang hanyalah bentuk respon massa atas meninggalnya seorang masyarakat yang disebut-sebut sebagai “tahanan narkoba.” Dalam hal ini, kasus tersebut hanya dianggap isu lokal yang bisa terjadi di mana saja dan kapan saja. Asumsi lain yang dapat diajukan adalah terkait objek yang hanya terbatas pada meninggalnya “tahanan” dan terbakarnya mapolsek.
Kondisi tersebut berbeda jauh dengan pembakaran bendera, atau lebih tepatnya kain yang bertulis kalimat tauhid oleh oknum Banser. Insiden ini mendapat respon luas dari publik. Alasannya, pembakaran kalimat tauhid tidak hanya melukai seseorang atau beberapa orang, tapi telah dianggap sebagai bentuk pelecehan terhadap kesakralan tulisan tauhid yang dengan sendirinya merupakan penistaan terhadap agama. Hal inilah yang kemudian membuat isu pembakaran bendera menjadi viral dan ditanggapi secara “massal” oleh publik di berbagai pelosok tanah Indonesia.
0 Comments