Kata “teler” sering dilekatkan kepada sosok tertentu sebagai bentuk “ejekan” guna “merendahkan” sosok tersebut. Sampai saat ini tampaknya belum ada seorang pun yang menggunakan kata “teler” untuk memuji seseorang. Kata tersebut masih “kekal” pada makna asalnya dan belum mengalami pembelokan.
Kata “teler” digunakan hampir dalam semua bidang kehidupan, tak terkecuali dalam pentas politik praktis. Dalam dunia politik praktis istilah “teler” biasa disandangkan pada oknum politisi yang sering mengembuskan mantra omong kosong di musim-musim politik. Mereka adalah oknum politisi yang kehilangan keseimbangan dalam menjalankan aktivitas politiknya. Oknum politisi “teler” biasanya hanya mampu menebar janji dan gagal menepati janji itu ketika pantatnya telah menyentuh kursi kekuasaan.
Dalam dunia politik, kita juga akan berhadapan dengan beberap oknum tim sukses (timses) yang juga mengidap “teler.” Oknum serupa ini tidak hanya dijumpai di dunia nyata, tapi juga menyemak dan bermukim di dunia maya. Oknum timses “teler” dapat dikenali melalui beberapa ciri-ciri yang terwujud dalam ucapan dan tingkah-lakunya.
Timses “teler” adalah mereka yang membela mati-matian “kesalahan” calon yang diusungnya. Dalam pembelaan buta ini mereka meninggalkan akal sehatnya demi menunjukkan kesetiaan kepada idola mereka. Tidak hanya membela calon yang diusungnya, tapi mereka juga memperteguh “kesilapan” dan “kekeliruan” yang dilakukan oleh teman-temannya.
Timses “teler” juga meninggalkan kewarasannya ketika memuji calon yang diusungnya. Mereka menyanjung idolanya dengan “penghambaan” yang “membabi-buta.” Calon yang diusungnya diposisikan sebagai manusia suci yang sejak lahirnya tanpa cela sedikit pun dan menghantam rival politiknya sebagai pendosa yang tak terampuni.
Timses “teler” menjalankan aktivitas politiknya dengan “perasaan” sembari membunuh “kewarasan.”
0 Comments