S. Takdir Alisjahbana bukan sekadar sastrawan tapi juga seorang ilmuan yang cukup dikenal di Indonesia. Roman Kalah dan Menang ini sebagaimana diakuinya sendiri adalah gabungan dari khayal dan kebenaran yang sepintas terlihat bertentangan tapi dalam kenyataan kehidupan keduanya selalu saja bersatu. Menurut Alisjahbana, khayal adalah penjelmaan dari kebenaran yang menjadi tumpuan manusia dalam menemukan kenyataan sejarah.
Menurut kesaksian Taufik Ismail, untuk menulis roman ini, Alisjahbana menggunakan lima puluh buah buku referensi, khususnya terkait kisah pertempuran Angkatan Laut Jepang dan Angkatan Laut Belanda di Laut Jawa. Membaca bagian pertempuran ini sepintas mirip dengan reportase peperangan dalam buku-buku sejarah. Dengan demikian, roman ini tentunya tidak seluruhnya berisi khayal atau imajinasi si pengarangnya, tapi juga memuat beberapa peristiwa sejarah sebagai latar belakang cerita.
Secara umum roman ini berkisah tentang berbagai gejolak yang terjadi selama perang dunia kedua yang melibatkan negara-negara Eropa yang juga berdampak pada perubahan kondisi sosial politik di beberapa “negara jajahan” seperti Indonesia. Bagian terberat dari roman ini adalah kisah tentang “benturan” kebudayaan yang melibatkan manusia-manusia dari latar kebudayaan yang berbeda.
Roman ini melibatkan banyak tokoh di dalamnya yang berasal dari bangsa dan kebudayaan berlainan. Beberapa tokoh utama di antaranya: Hidayat (pegawai Balai Pustaka), Kartini (istri Hidayat, pejuang perempuan Indonesia), Wibowo (seorang guru yang kemudian menjadi opsir PETA), Junaidi (pemuda Indonesia anti Jepang), Muhammad Ali (pemimpin perjuangan Indonesia yang kemudian bekerjasama dengan Jepang), Elizabeth (perempuan Swis, janda sejarawan Belanda yang kemudian menjadi kekasih seorang perwira Jepang), Katsuhiko Okura (perwira Jepang, kekasih Elizabeth), Lien (seorang Indo, janda polisi Belanda) dan Anami (seorang pedagang Jepang masa pendudukan).
Membaca roman ini akan memaksa kita untuk kembali pada situasi perang dunia kedua, di mana sebagian kita justru belum lahir ke dunia.
Melalui roman ini, Alisjahbana berhasil membuat gambaran yang hidup tentang situasi dunia pada masa itu yang larut dalam kecamuk perang. Indonesia pada masa itu baru saja diduduki Jepang setelah Belanda mendapat kekalahan dari Jerman. Kedatangan Jepang ke Indonesia saat itu sedikit banyaknya juga berhasil memengaruhi pemikiran sebagian pejuang-pejuang Indonesia dengan ideologi fasisme. Pengaruh kebudayaan Jepang secara perlahan juga berhasil menggeser berbagai “isme” semisal nasionalisme dan liberalisme yang ditularkan oleh kolonialisme Eropa di Indonesia.
Secara khusus, Alisjahbana juga menggambarkan semangat “Bushido Samurai” yang memengaruhi alam pikir masyarakat Jepang kala itu. Dengan keyakinan akan kekudusan Kerajan Jepang dan kesetiaan mereka kepada Tenno Heika, para tentara Jepang telah berhasil mengukir kemenangan untuk beberapa saat dan bahkan dapat berdiri sejajar dengan negara-negara besar di Eropa.
Alisjahbana juga menggambarkan pertentangan antara Elizabeth yang mewakili pemikiran Eropa dengan Okura yang mewakili pemikiran Jepang. Keduanya terlibat dalam diskusi panjang, di mana masing-masing pihak tampak mengunggulkan kebudayaannya sendiri. Dengan sentuhannya yang halus, secara perlahan Elizabeth berhasil meyakinkan Okura bahwa pemikiran kebudayaan Jepang sebagai sebuah pemikiran yang sempit dan feodalistik karena terlalu mengagungkan Jepang dan Tenno Heika.
Kekalahan yang dialami Jepang pasca serangan sekutu yang dipimpin Amerika akhirnya mampu menyadarkan Okura, seorang perwira Jepang yang awalnya cukup fanatik, bahwa kekudusan Jepang dan Tenno Heika hanya mitos yang sengaja diciptakan oleh kalangan miilter di Jepang. Kesadaran Okura ini diawali oleh kondisi Hiroshima dan Nagasaki yang hancur akibat bom atom tanpa ada bantuan sedikit pun dari dewa-dewa yang diyakini oleh masyarakat Jepang dengan semangat bushido samurai.
Kesedihan segera meliputi Okura pada saat ia menyaksikan negerinya hancur dengan korban yang tak terhitung. Manusia-manusia hangus terbakar dan rumah sakit di Jepang tidak mampu menampung korban yang terus berjatuhan. Dia juga mendengar sendiri pidato Tenno Heika yang dulu diagung-agungkannya menyatakan menyerah kepada sekutu, padahal selama 2600 tahun bangsa Jepang tak pernah dikalahkan oleh siapa pun.
Meskipun roman ini berkisah tentang perang di mana kemanangan dan kekalahan saling berganti, tapi Alisjahbana berhasil mengumpulkan berbagai guratan rasa yang dialami oleh manusia-manusia dari latar kebudayaan yang berbeda.
Roman ini mengisahkan tentang bagaimana kepedihan yang dirasakan bangsa Indonesia akibat penjajahan Belanda dan juga penjajahan Jepang. Bangsa Belanda yang pernah menjajah Indonesia kemudian juga dipecundangi oleh tentara Jepang setelah mereka mendarat. Bangsa Belanda juga merasa kepedihan menjadi bangsa yang kalah setelah negaranya diduduki Jerman. Demikian pula dengan bangsa Jepang pun merasakan kepahitan serupa setelah hampir seluruh bagian Jepang dibumihanguskan sekutu. Ada banyak cerita pilu di Jepang pasca kehancurannya.
Selain tentang perang dan pertentangan kebudayaan, Alisjahbana juga melengkapi romannya dengan kisah percintaan yang mengharukan antar anak manusia dalam kondisi kecamuk perang.
Lien, seorang Indo yang ditinggal mati suaminya, seorang Belanda yang ditembak tentara Jepang, akhirnya merasa jatuh hati kepada Anami, seorang pedagang Jepang yang tinggal di Jakarta. Tragisnya lagi, kekasih Lien yang bernama Anami itu pun akhirnya tewas dibunuh oleh pejuang-pejuang Indonesia. Demikian pula dengan keperihan hati Wibowo yang cintanya tidak mendapat sambutan dari Lien. Akibat cinta tak kesampaian ini, akhirnya Wibowo pun berubah dari seorang pendiam yang suka termenung menjadi sosok berpendirian teguh dan tegas setelah dirinya mendapat didikan militer dari Jepang.
Kisah percintaan di tengah konflik kebudayaan juga dialami oleh Elizabeth. Pada pertempuran di Laut Jawa, suaminya Dirk, seorang ahli sejarah Belanda dikabarkan hilang dalam pertempuran setelah kapal laut Belanda diserang kapal Jepang. Namun dalam perkembangan selanjutnya, ia jatuh cinta kepada seorang perwira Jepang, Katsuhiko Okura sampai keduanya berhubungan badan di kediaman Elizabeth.
Sebelumnya, Okura ketika bertugas di Jakarta sempat menempati rumah Elizabeth yang saat itu telah menjadi janda. Elizabeth yang saat itu sedang terpesona untuk mempelajari kebudayaan Jepang secara perlahan mendekati Okura untuk mengetahui langsung bagaimana pemikiran Jepang terhadap perang yang sedang berlangsung. Tanpa diduga akhirnya aktivitas intelektual ini berujung pada percintaan yang “tragis.” Setelah mendapat luka di Blitar, Okura dikembalikan ke Jepang dan sejak saat itu ia pun tidak lagi bertemu dengan Elizabeth yang pasca perang juga telah kembali ke Swis.
Dalam roman yang “menyesakkan” jiwa ini, peristiwa perang tidak semata-mata dilihat sebagai konflik antara kebaikan dan kejahatan, tapi juga tentang berbagai kisah kemanusiaan yang dihadapi oleh semua bangsa.
Dalam roman ini, Alisjahbana menempatkan manusia sebagai manusia dari sudut kemanusiaan terdalam yang tidak selamanya terkait dengan entitas politik dan kebudayaan tertentu.
Kebahagiaan tidak selamanya berpihak pada bangsa yang menang dan kesedihan tidak selamanya meliputi bangsa yang kalah. Keduanya terus bertukar ganti dan menemani hati dan pikiran manusia dari berbagai bangsa dan kebudayaan.
0 Comments