Bagi oknum caleg tipe ini, kepentingan masyarakat sama sekali tidak menjadi urusannya. Jika terpilih dia akan memosisikan diri sebagai tokoh di hadapan masyarakat dengan segala kemewahan yang diperolehnya. Sementara di dalam gedung parlemen dia tidak segan-segan bertindak sebagai “begal,” “penyamun,” dan “pencoleng” uang rakyat melalui segala tipu muslihat.
Dengan modal yang telah didapatkannya selama menghuni gedung rakyat, biasanya oknum caleg serupa ini akan kembali terpilih melalui praktik “*money politik*.” Jika pun ia tidak lagi terpilih, ia akan tetap bisa hidup dengan penuh kemewahan sebab pundi-pundi kekayaan hasil “rampasan perang” di gedung rakyat telah sempurna ia garong selagi pantatnya menyentuh kursi parlemen.
Bagi oknum caleg yang “sebangsa” dengannya ia akan “dipuja” sebagai sosok yang pintar dan cerdas. Tidak sedikit calon-calon “begal” lainnya akan berguru kepada oknum caleg tipe ini. Namun di mata masyarakat ia hanya menjadi “sampah” yang “menjijikkan.”
Di Indonesia yang “adil-makmur” seperti saat ini tentunya wajar-wajar saja muncul oknum caleg yang menjadikan pemilu (pileg) sebagai medium “memperbaiki-diri,” khususnya dalam bidang ekonomi. Kesulitan mendapatkan pekerjaan yang layak dan patut serta “manusiawi” ditambah lagi dengan sulitnya lulus tes pegawai negeri di Republik ini telah mendorong oknum tertentu untuk mencalonkan diri sebagai caleg dengan harapan masa depannya akan cerah, cemerlang dan bahkan gilang-gemilang.
Kedua, didorong oleh keinginan memperjuangkan aspirasi masyarakatnya (konstituen) melalui usaha-usaha legal di parlemen. Tidak dapat dipungkiri memang ada beberapa sosok – meskipun “satu dalam berjuta – yang gelisah dan resah terhadap kondisi masyarakatnya yang terpuruk. Kegelisahan dan keresahan ini kemudian mendorong mereka untuk berjuang dan berupaya sekuat tenaga agar dirinya terpilih sebagai anggota legislatif guna memperjuangkan aspirasi masyarakat di parlemen.
Oknum caleg tipe ini akan merasakan “kepedihan” mendalam jika dirinya tidak terpilih sebagai anggota legislatif sebab kegagalan itu akan memunahkan harapannya. Sebagian dari mereka akan kembali melakukan usaha-usaha lima tahun ke depan sampai “kemenangan” diperolehnya. Sebaliknya, jika terpilih dia akan berusaha sesuai kemampuannya untuk memperjuangkan aspirasi masyarakat yang telah diserapnya jauh-jauh hari sebelum ia mencalonkan diri.
Di gedung parlemen, anggota legislatif serupa ini biasanya akan “terkucil” dan “terpinggir” dari para oknum anggota dewan bermental “begal.” Dia akan tetap bersuara lantang di gedung perwakilan rakyat meskipun suaranya hilang tenggelam dalam riuh penolakan. Segala bentuk ejekan dan hinaan semisal “sok idealis,” “sok suci,” dan “sok bersih” akan ia kesampingkan dan dipendamnya dalam hati sebagai sebuah tikaman yang harus dinikmati di tengah “kegilaan” para “begal” yang merajalela.
Bagi sosok yang awalnya (sebelum terpilih) hidup miskin, setelah masa jabatannya berakhir, jika tidak lagi terpilih, sosok serupa ini biasanya akan tetap hidup dalam “kemiskinan” atau mungkin “kefakiran,” karena keogahannya “mencuri” di gedung rakyat. Sementara bagi yang sedari awal sudah “kaya” maka kekayaanya tidak akan bertambah, atau mungkin semakin berkurang sebab keengganannya “menyamun.” Namun demikian segala bentuk perjuangannya akan selalu dikenang oleh masyarakat yang aspirasi mereka telah ia perjuangkan di gedung parlemen. Bagi masyarakat ia akan menjadi “legenda” di kemudian hari. Sebaliknya di mata oknum “pencoleng” uang negara ia akan dikenang sebagai tokoh terburuk yang menganggu kenyamanan para “penyamun.”
Ketiga, perpaduan dua dorongan; untuk perbaikan ekonomi pribadi dan dalam waktu bersamaan juga ingin memperjuangkan aspirasi para pemilihnya. Caleg serupa ini berada satu tingkat di bawah tipe caleg pertama yang hanya didorong oleh faktor ekonomi belaka. Oknum caleg semisal ini akan mengampanyekan kepada masyarakat bahwa ia akan memperjuangkan nasib mereka dan menyembunyikan misi pribadinya agar tidak terendus oleh publik.
Jika terpilih, caleg tipe ketiga ini akan melakukan misinya secara beriringan. Aspirasi rakyat akan diperjuangkan habis-habisan sekuat tenaga dengan suara yang tidak kurang lantang dari caleg tipe kedua. Namun dalam waktu bersamaan dia juga akan melakukan upaya-upaya legal dan ilegal untuk kepentingan pribadinya. Seperti caleg tipe pertama, oknum caleg tipe ketiga ini juga akan memainkan perannya sebagai “penyamun” secara sembunyi-sembunyi.
Di masa purnatugas, jika ia tidak lagi terpilih, ia bisa hidup mapan dari hasil “mencoleng” selama menjadi anggota dewan. Namun di mata masyarakat ia akan tetap terhormat karena aspirasi mereka pernah ia perjuangkan sembari ia terus “mencuri.”
Keempat, ingin menjadi tokoh. Oknum caleg tipe ini biasanya berasal dari orang-orang yang sudah hidup mapan. Di antara oknum-oknum ini adalah para pengusaha atau mantan pejabat semisal bekas kepala dinas. Dalam konteks ekonomi beberapa oknum ini sudah terbilang kaya, untuk tidak menambahkan “raya” di ujungnya.
Mereka mencalonkan diri sebagai caleg hanya sebatas ingin menjadi tokoh di hadapan publik. Label “anggota” dewan dalam segala levelnya telah cukup untuk menambah status sosialnya dan tidak peduli kepada hal-hal lain. Tugasnya hanya masuk keluar kantor dan sesekali menebar senyum kepada masyarakat. Dia tidak melakukan korupsi karena kehidupannya memang sudah mapan. Dalam posisinya sebagai anggota dewan, dia juga tidak peduli kepada aspirasi rakyat, untuk tidak menyebut “persetan” dengan semua itu.
0 Comments