Sebagai sebuah kontestasi, pemilu adalah “perjudian nasib” yang melibatkan para politisi dalam pentas demokrasi. Kemenangan dan kekalahan adalah dua hal yang selalu beriringan, tepatnya bergantian. Politisi yang berhasil memenangkan pertarungan akan bersua dengan kegembiraan. Sebaliknya, politisi yang kalah akan larut dalam kedukaan.
Politisi yang gagal terpilih dalam pemilu tentu akan sangat terpukul dan bahkan “menderita.” Tidak hanya soal kehormatan yang terenggut, tapi juga kepunahan material yang tak terbilang. Kekalahan adalah pukulan yang sangat menyakitkan dan sulit terobati, kecuali dengan kemenangan di lain waktu.
Ramai politisi gagal yang harus rela menjadi “gelandangan” pasca pemilu. Sebagian mereka merasa terhina di depan para sponsor karena harapan kemenangan telah musnah. Sebagian lainnya harus memulai hidup baru untuk membayar utang yang telah menggunung.
Bagi politisi yang memiliki cukup kekayaan mungkin akan mampu bersabar sembari menyusun strategi dan menggalang kekuatan untuk meraih kemenangan pada pemilu berikutnya. Baginya kekalahan adalah sebuah cobaan dan batu loncatan untuk kesuksesan di masa depan.
Yang paling konyol dan menderita adalah politisi-politisi “dhuafa” yang memaksa diri melenggak-lenggok di pentas politik dalam dunia demokrasi yang semakin “gila.” Baginya kekalahan bukanlah ujian, tapi bencana yang mematikan dan menumpas segala imajinasi sehingga ia pun terpental dalam kehampaan.
Bagi politisi “dhuafa” kekalahan adalah kiamat, sebab segala kekuatan telah terkuras tak berbekas. Bagi mereka tidak ada lagi kebangkitan, sebab kesempatan telah habis. Tidak sedikit dari mereka yang kemudian harus mendapat perawatan kejiwaan karena guncangan mental yang tak tertahan.
Mereka akan melewati hari-hari sunyi. Sadisnya demokrasi!
0 Comments