Kampanye adalah salah satu cara untuk memikat pemilih. Bagi caleg, kampanye merupakan agenda penting yang tidak boleh ditinggalkan. Jika tidak siap berkampanye maka lebih baik berhenti menjadi caleg.
Karena zaman terus berubah, para caleg juga harus mampu beradaptasi dengan perkembangan zaman sehingga tidak terjebak dalam model kampanye klasik yang sudah tidak lagi efektif. Model kampanye harus terus diperbarui dari masa ke masa.
Berikut ini adalah beberapa bentuk kampanye dan strategi klasik yang tidak lagi sesuai dengan perkembangan zaman:
Pertama, sok dermawan di kedai kopi. Dulu, atau mungkin berpuluh-puluh tahun lalu kampanye serupa ini lumayan menarik perhatian masyarakat sehingga ramai caleg yang merasa mantap dengan model ini. Caranya adalah berkunjung ke kedai-kedai kopi dan kemudian berbasa-basi dengan pengunjung kedai. Setelah basa-basi dirasa cukup, si caleg lalu membayar harga kopi seluruh pengunjung. Aksi si caleg ini biasanya akan dipuji oleh masyarakat sehingga suaranya akan bertambah. Tapi, itu dulu! Untuk saat ini model kampanye tersebut sudah kedaluarsa. Uniknya, sekarang justru banyak caleg yang harga kopinya dibayar orang lain.
Kedua, bantuan untuk rumah ibadah. Dulu banyak oknum caleg yang ketika musim pemilu telah tiba berlomba-lomba membantu pembangunan rumah ibadah. Melalui bantuan politis tersebut diharapkan suaranya akan bertambah. Seperti model pertama, model ini juga sudah “kuno.” Saat ini, seiring dengan kecerdasan pemilih, bantuan untuk rumah ibadah sudah tidak lagi efektif mendongkrak suara. Tapi kalau bantuannya ikhlas tetap akan mendapat pahala.
Ketiga, pertemuan dengan tokoh masyarakat. Pola ini terbilang hebat di masa lalu sebab tokoh masyarakat adalah sosok-sosok berpengaruh yang dapat merayu rakyat untuk memenangkan caleg dalam pemilu. Namun seiring perjalanan waktu dengan munculnya tokoh-tokoh “gadungan,” kepercayaan pemilih kepada tokoh pun telah memudar. Saat ini membuat pertemuan dengan sosok-sosok yang dianggap tokoh sudah terlalu kolot sebab kampanye yang disampaikan caleg akan berakhir di level mereka dan tidak akan otomatis berdampak pada pemilih. Demikian pula dengan biaya operasional yang dikeluarkan juga akan berhenti di level tokoh. Tapi untuk sekadar berteman dengan tokoh boleh-boleh saja.
Keempat, menjalin hubungan dengan perangkat desa. Banyak caleg yang percaya bahwa hubungan baik dengan perangkat desa dapat mempermulus usahanya memperoleh suara. Strategi ini memang cukup ampuh di masa lalu. Sementara untuk saat ini strategi tersebut sudah terlalu konyol untuk dipertahankan. Seperti diketahui, meskipun perangkat desa tidak boleh berpolitik, namun dalam praktiknya ramai oknum caleg yang menjalin kerjasama dengan oknum perangkat desa agar suaranya bertambah. Dalam konteks kekinian strategi ini sudah tidak efektif sebab perangkat desa adalah sosok yang diburu oleh hampir seluruh caleg. Jika dipaksakan, bukan tidak mungkin para oknum perangkat desa akan “membagi-bagi” dukungan. Misalnya lorong A untuk caleg B dan lorong B untuk caleg A. Demikian seterusnya.
Kelima, hubungan dengan penyelenggara pemilu. Dulu ada beberapa kasus yang mencuat terkait keterlibatan oknum penyelenggara dalam pemenangan caleg tertentu. Dengan kata lain, di masa lalu strategi “pengamanan” suara melalui kerjasama dengan oknum penyelenggara terbilang efektif. Namun sejak munculnya media sosial strategi ini menjadi sangat berbahaya diterapkan sebab tiba-tiba saja akan viral sehingga hancurlah semua harapan.
0 Comments