Selain ibu, sebagai manusia kita juga memiliki ayah. Pertemuan ayah dan ibulah yang memungkinkan kita lahir ke dunia. Dan kelahiran kita adalah wujud cinta kasih mereka.
Hanya Adam dan Hawa yang tak berayah dan ibu. Dan hanya Isa saja yang tak memiliki ayah. Adam, Hawa dan Isa adalah pengecualian sebagai bukti kekuasaan Tuhan.
Ketika ibu mengandung, ayah selalu menemani dan menanti buah hatinya lahir ke dunia. Dielusnya perut ibu seolah ia sedang membelai kepala kepala kita yang tertidur di kandungan.
Ayah bekerja menguras tenaga demi terpenuhinya kebutuhan ibu agar kita bisa lahir dalam keadaan sehat. Dia menyiapkan segala kebutuhan menjelang kehadiran kita ke dunia.
Ketika kita lahir, ayah adalah orang pertama yang mengenalkan suara di telinga kita. Digendongnya kita sembari membisik suara azan dengan halus sembari berharap suara itu akan senantiasa menemani hidup kita di kemudian hari.
Ketika kita masih belajar berjalan, dituntunnya tangan kita agar buah hatinya tak terjatuh. Dibawanya kita ke pasar dan keramaian untuk menunjukkan dunia yang belum pernah kita lihat sebelumnya. Dibelinya kita pakaian baru dengan uang hasil ia memeras tenaga. Dibangga-banggakannya kita kepada teman-temannya bahwa kita anak yang patuh.
Pada saat menginjak remaja, ayah mengajari kita segala keterampilan agar kita berguna di hari depan. Hasil yang ia peroleh dari membanting tulang disisihkan untuk kepentingan kita, anak yang ia banggakan.
Meskipun ia tidak selalu menyertai hari-hari masa kecil kita layaknya ibu, karena harus berjuang mencari peruntungan hidup, tapi hati seorang ayah tetap terpaut pada kita sebagai sosok yang akan meneruskan perjuangannya kelak.
Sehebat apa pun kita di kemudian hari, bagi ayah, kita tetaplah anaknya yang manis dan lucu. Kita bisa bermegah-megah di hadapan orang lain, tapi tidak di depan seorang ayah yang telah menyertai perjalanan hidup kita sejak kaki kita masih lemah dan belum mampu berdiri.
0 Comments