Malam tadi, Kamis (18/06/2019), karena kebetulan berada di Banda Aceh, saya dan Tgk Faisal Ridha, Presidium SIRA menghabiskan malam di Donya Kupi Drop Daruet. Kami tiba di sana sekira jam 9 malam.
Sesampai di sana, tampak dua sosok yang sedang menikmati secangkir teh hijau yang kononnya diimpor dari Taiwan. Di kedai itu memang disediakan berbagai jenis teh dan kopi dari luar negeri.
Dua sosok yang sedang santai pas di depan kedai adalah sepasang suami istri yang sudah kami kenal sebelumnya. Mereka adalah M. Nur Djuli, mantan juru runding GAM dan istrinya Shadia Marhaban, salah seorang aktivis perempuan di Aceh.
Kami segera bergabung dengan mereka. Selang beberapa menit, tamu lainnya pun tiba di lokasi dan juga bergabung bersama kami. Mereka adalah Tgk.Muhammad Saleh, mantan pejuang referendum. Dia datang bersama istri dan anaknya.
Setelah berkumpul segera saja kami larut dalam perbincangan tentang berbagai isu terkait Aceh saat ini. Salah satu topik yang sempat melahirkan perbincangan panas di kedai itu adalah terkait isu referendum yang baru-baru ini digelorakan Muzakkir Manaf, mantan Panglima GAM. Setelah melahirkan polemik kecil di Aceh terkait isu ini, Muzakkir Manaf pun melakukan klarifikasi melalui sebuah video beberapa hari lalu.
Perbincangan kami malam itu lebih terfokus pada isu ini dengan pertanyaan besar; apakah isu referendum di Aceh masih dianggap penting dalam konteks Aceh hari ini; dan bagaimana respons masyarakat Aceh terkait isu ini, di mana ada beberapa tokoh di Aceh, di antaranya Muhammad Nazar, mantan Koordinator Presidium SIRA yang menyatakan isu itu sudah tidak layak diperbincangkan.
Meskipun nada “penolakan” yang disampaikan Nazar hanyalah pikiran pribadi, bukan keputusan SIRA secara organisasi, namun pernyataan ini justru telah memperlebar polemik. Baru-baru ini kononnya, Muzakkir Manaf juga akan bertemu Menkopolhukam, Wiranto yang tampaknya juga tidak terlepas dari isu ini.
Setelah berbincang beberapa jam, Om Nur Djuli dan istrinya pun pamit pulang yang kemudian disusul Tgk Saleh dan istrinya. Akhirnya yang tersisa di meja itu hanya saya, Tgk Faisal dan istrinya. Perbincangan kami pun berganti ke topik lain, salah satunya terkait pengusiran penceramah dari Jawa dan “kerusuhan” di salah satu masjid di Banda Aceh baru-baru ini.
Sekira pukul 12 malam, kami pun pulang ke tempat masing-masing.
0 Comments