Rasanya tidak ada aktivitas apa pun di dunia ini yang terbebas dari risiko. Bahkan aktivitas tidur pun memiliki risiko, minimal mimpi buruk atau mungkin kencing di celana. Namun demikian risiko tidak lantas bisa dijadikan alasan untuk tidak beraktivitas.
Menulis sebagai sebuah aktivitas menuangkan gagasan, pikiran dan harapan juga memiliki sejumlah risiko. Apalagi jika dilakukan dengan tergesa-gesa dan tidak hati-hati, maka risiko pun akan semakin besar.
Bagi penulis yang hobi mengirimkan tulisan ke koran, jika tidak dilakukan dengan serius dan cermat, maka akan berisiko tulisannya ditolak. Demikian pula bagi penulis yang mengutarakan pikirannya dalam penerbitan akademik semisal jurnal pun akan mengalami penolakan jika tulisannya tidak menggunakan metode yang benar atau lemahnya argumentasi. Penolakan tulisan adalah risiko terkecil yang dihadapi penulis.
Dalam konteks yang lebih luas, seorang penulis yang menulis fenomena sosial politik atau fenomena keagamaan dengan terburu-buru dan asal jadi juga akan berhadapan dengan sejumlah risiko, minimal ditertawakan atau dalam taraf tertentu bisa berhadapan dengan hukum.
Tulisan yang tidak didasari fakta, pengamatan dan analisis yang benar sangat berpeluang menjadi fitnah yang bisa merugikan kalangan tertentu. Dalam kondisi inilah penulis seringkali berurusan dengan hukum, atau bahkan persekusi oleh massa.
Tidak sedikit penulis yang harus menghabiskan waktunya dalam jeruji. Memang tidak semua penulis tersebut melakukan pelanggaran hukum. Sebagian besar di antaranya justru menulis dalam bingkai hukum. Namun karena tulisan mereka dianggap menyinggung dan menganggu kekuasaan, maka mereka pun dipenjara. Seperti telah kita singgung sebelumnya, ini semua adalah bentuk risiko yang mau tidak mau harus diterima oleh penulis.
Di kawasan tertentu, seorang penulis bahkan diusir dari negaranya hanya karena tulisan yang dianggap menyimpang dari pemikiran umum. Sebagian mereka harus menghabiskan sisa usianya di luar negeri. Di sana pemikiran-pemikiran mereka disambut dengan baik.
Dalam kondisi lainnya seorang penulis juga sering mendapat label negatif akibat tulisan-tulisan yang mereka telurkan. Tidak jarang seorang penulis yang gencar mengkritisi pemerintah kemudian dicap sebagai pembangkang. Demikian pula penulis yang melakukan kajian sosial keagamaan secara kritis juga seringkali distigma sebagai sesat atau anti-maenstream.
Tidak sedikit penulis yang ditangkap atau diusir dan kemudian buku-bukunya dibakar atau minimal dilarang beredar. Sebagai penulis tentunya kita harus siap dengan berbagai risiko semacam ini.
Jika tidak siap dengan risiko, pilihannya cuma satu; berhenti menulis.
0 Comments