Ketika masih kecil, selain gemar main perang-perangan, saya bersama kawan-kawan juga punya hobi berkelahi, tapi bukan berkelahi betulan, hanya permainan. Di masa itu main perang-perangan dan berkelahi memang sudah menjadi semacam permainan khas anak laki-laki.
Sewaktu masih sekolah di MIN, saya dan kawan-kawan sering latihan berkelahi di halaman masjid yang saat itu masih ditumbuhi rumbut tebal. Tempat itu lumayan aman untuk bermain. Sesekali kami juga main di teras masjid pada saat Pak Bilal tidak ada di tempat.
Sebenarnya permainan ini selain agak berbahaya, kami juga harus sembunyi-sembunyi, karena kalau ketahuan orangtua, masalah bisa runyam. Soalnya, perang-perangan yang kami lakoni saat itu bukan saja pertempuran ala modern yang menggunakan senjata tukok u yang disulap menjadi bedil dan mengunakan mulut untuk meledakkan senjata dengan bunyi tisyu-tisyu untuk suara pistol atau tum-tum untuk bedil dan tururururu untuk bunyi senapan mesin. Tapi, kami juga sering melakukan perang kuno pakai pedang yang kami buat dari belahan bambu yang tentunya akan membuat kepala benjol kalau terkena.
Saat itu saya dan teman-teman juga sering terlibat dalam permainan berkelahi dan mencoba meniru aksi kungfu yang kami tonton di TV. Saya ingat betul, waktu itu, karena belum menemukan saluran yang pas, hampir semua pohon pisang di rumah saya tendang dan tinju sampai tumbang. Kejadian ini membuat orangtua saya marah besar, tapi saya diam saja.
Pada waktu sekolah di MTsN, tepatnya di kelas dua, saya pun mendaftar di salah satu perguruan silat di Matangglumpangdua. Waktu itu saya bergabung di kelompok Seni Pembela Diri Kencana Kwitang yang dipimpin Master kami, almarhum Bang Tarmizi.
Sejak saat itu, selain aktif di Pramuka, saya juga menyisakan waktu di sore hari untuk latihan silat di sebuah lapangan kecil tak jauh dari Kota Matangglumpangdua. Sesekali kami juga latihan di Pantai Jangka dan tepi Krueng Pante Lhong.
Saat itu, kami sering dilatih oleh Bang Adi, satu-satunya murid bang Tarmizi yang bersabuk hitam, sabuk tertinggi dalam komunitas silat. Bang Tarmizi biasanya melatih kami sebulan atau dua bulan sekali.
Saya belajar silat di perguruan ini sampai kelas tiga MAN. Pada saat kelas 1 MAN, saya juga bergabung dengan perguruan karate. Waktu itu saya berpikir, belajar karate juga penting, agar kalau ada musuh yang ahli karate saya bisa mengalahkannya. Soalnya kalau saya pakai gaya silat melawan karateka tentu terlihat aneh, karena silat terlalu banyak “tariannya” sementara karate langsung pampum tanpa harus berlenggak-lenggok. Saya bisa aktif latihan di dua perguruan ini karena jadwal latihan yang berbeda alias tidak beradu.
Masalah baru muncul pada saat jadwal latihan beradu. Pada waktu kelas dua MAN, ada pergeseran jadwal latihan karate sehingga beradu dengan jadwal silat. Saat itu latihannya juga sama-sama digelar di lapangan SMA Peusangan.
Karena saya sudah agak lama latihan di perguruan silat, maka hari itu saya memutuskan untuk ikut latihan karate, karena di perguruan ini saya baru bergabung satu setengah tahun. Pada saat itulah kejadian kurang enak itu muncul.
Karena latihan berlangsung di tempat yang sama, guru silat saya, Bang Tarmizi, berhasil melihat saya memakai seragam karate berwarna putih, sementara seragam di silat berwarna hitam. Hari itu guru silat saya tidak menegur dan diam saja.
Masalah muncul saat saya ikut latihan silat pada hari berikutnya. Hari itu Bang Tarmizi menegur dan bertanya kenapa saya bergabung dengan perguruan karate. Saya hanya diam saja, tidak menjawab. Kemudian beliau meminta saya memilih salah satu. Dengan tegas saya jawab, saya memilih silat. Sejak saat itu saya pun berhenti latihan karate dan fokus di silat sampai lulus MAN. Karena ujian kenaikan tingkat terlalu ketat, saya hanya bisa sampai sabuk hijau (tingkat 3) di silat. Tiga sabuk lagi di atasnya gagal saya dapat karena saya harus hijrah ke Banda Aceh untuk kuliah.
Sewaktu kuliah di IAIN Ar-Raniry saya juga sempat bergabung beberapa bulan di Perguruan Silat Merpati Putih yang berlokasi di kawasan Unsyiah. Tapi mengingat jadwal kuliah yang padat, karena saya kuliah di dua jurusan, akhirnya saya keluar dari Merpati Putih.
Selepas itu, saya tidak lagi bergabung dengan perguruan mana pun. Namun begitu, karena sudah menjadi hobi, saya masih terus latihan silat setiap pagi sebagai olahraga rutin yang saya lakoni sampai sekarang. Mungkin karena itulah terkadang saat menulis saya sering menggunakan kalimat bergaya silat untuk menghindar UU ITE dan gaya karate untuk menyampaikan poin-poin penting dan mendesak.
0 Comments