Dalam enam bulan terakhir ini, beberapa tulisan opini yang saya kirimkan ke salah satu koran tidak jelas nasibnya. Meskipun tulisan yang tidak dimuat itu adalah hal yang wajar, namun khusus dengan koran yang satu ini, saya merasa ada yang aneh. Sebut saja koran A.
Sebelumnya, kecuali dalam enam bulan terakhir, tulisan-tulisan saya sering muncul di koran A, setidaknya satu atau dua bulan sekali. Ada juga beberapa tulisan yang ditolak (tidak dimuat). Bagi penulis, kondisi ini wajar karena pemuatan sebuah tulisan itu sangat tergantung pada redaksi. Jadi tidak ada yang aneh ketika tulisan kita kadang dimuat kadang tidak.
Yang membuat saya merasa aneh, kenapa dulu tulisan saya dimuat, tapi sekarang tidak lagi. Bahkan dalam enam bulan terakhir tidak satu pun yang dimuat meski saya sudah mengirim enam tulisan dengan topik yang berbeda sesuai isu yang berkembang.
Keanehan ini sudah saya rasakan sekira enam bulan lalu ketika ada dua tulisan saya yang tidak dimuat. Waktu itu redaksi memuat tulisan dari penulis lain dengan tema yang senada dengan tulisan saya. Karena tulisan saya sudah terlewati oleh tulisan setema dari penulis lain, saya pun memastikan tulisan saya ditolak. Ini adalah salah satu cara saya mendeteksi cara redaksi memuat tulisan seseorang.
Kemudian, karena tulisan itu saya anggap penting dan masih aktual, maka tulisan itu pun saya cabut dari redaksi koran A melalui email dan saya kirimkan ke koran lain dan dimuat. Kebiasaan mencabut tulisan ini sangat jarang saya lakukan. Biasanya kalau tidak dimuat langsung saya korbankan.
Setelah tulisan yang sudah saya cabut itu dimuat di koran lain, beberapa minggu kemudian saya kembali mengirim tulisan dengan topik lain ke koran A. Lagi-lagi tidak dimuat. Karena penasaran, di bulan berikutnya saya mengirim lagi tulisan lainnya demikian seterusnya sampai enam bulan. Dan, hasilnya tetap saja tidak dimuat.
Namun seperti biasa, redaksi memuat tulisan dari penulis lain yang temanya masih serumpun dengan tulisan saya. Meskipun sudah enam tulisan yang tidak dimuat, saya masih tetap berkesimpulan bahwa mungkin saja tulisan saya kalah saing dengan penulis lain. Lagi pula topik yang dibahas penulis lain hampir sama dengan tulisan saya. Jadi mungkin saja redaksi menganggap apa yang ingin saya sampaikan sudah terwakili oleh penulis lain.
Tapi di sebalik itu, dalam beberapa waktu terakhir saya memang sering mengkritik redaktur koran itu. Bukan tentang tulisan saya, tapi tentang hal lain yang tidak ada kaitannya dengan penolakan tulisan saya. Dan saya tidak pernah mempersoalkan tulisan yang tidak dimuat, karena bagi saya tugas penulis adalah menulis dan mengirim, persoalan dimuat atau tidak itu urusan redaksi.
Waktu itu saya mengkritik redaktur yang menyatakan mencabut salah satu tulisan dari seorang penulis hanya karena ada protes dari sekelompok orang. Kritik itu saya tulis di facebook dan juga di platform ini. Menurut saya sikap redaktur koran A yang mencabut tulisan dan mendorong penulis tersebut untuk minta maaf adalah tindakan yang lucu dan aneh karena tulisan itu sama sekali tidak mengancam stabilitas negara dan tidak pula merugikan siapa pun, tapi hanya sebuah pendapat.
Kritik lainnya adalah tentang perubahan kolom opini di koran itu. Sebagai seorang pembaca tentu wajar-wajar saja kita mengkritisi hal tersebut. Lagi pula hanya sekadar kritik dan tidak mengubah apa pun.
Sebelumnya saya juga melakukan kritik terhadap seorang oknum redaktur koran A yang saat itu sedang gencar-gencarnya melakukan pelatihan dan membentuk group menulis hampir di setiap kabupaten. Saya menilai pelatihan itu tidak akan melahirkan penulis, kecuali dalam jumlah kecil, itu pun mereka yang sudah mampu menulis sebelum bergabung dalam group menulis yang dibentuk oknum redaktur tersebut. Waktu itu saya menyampaikan (melalui tulisan) bahwa untuk bisa menulis tidak harus ikut pelatihan menulis berbulan-bulan sampai bertahun-tahun. Cukup dengan memulai dan melatih diri secara tekun, semua orang akan bisa menulis.
Selain itu saya juga mengkritik pola pembelajaran menulis yang diajarkan oknum redaktur tersebut yang menurut saya kurang efektif. Menurut saya pola menakut-nakuti calon penulis dengan tata bahasa, tanda baca dan hal-hal teknis adalah konyol karena bisa menurunkan semangat mereka. Yang penting ditumbuhkan adalah semangat untuk menulis, sementara hal-hal teknis nantinya bisa mereka pelajari perlahan tanpa harus dibebankan di awal.
Demikian beberapa kritik yang pernah saya lemparkan. Saya tidak tahu apakah karena kritik itu tulisan-tulisan saya kemudian tidak lagi dimuat. Tapi itu semua masih dugaan saya yang belum tentu benar.
Namun begitu rasa penasaran saya belum hilang. Hari minggu lalu saya kembali mengirim tulisan ketujuh ke koran A setelah saya pastikan topik itu belum dibahas penulis lain. Tapi sudah dua hari tulisan saya belum dimuat. Kali ini redaksi justru memuat tulisan dari penulis lain dengan topik berbeda.
Tapi, saya belum bisa mengambil kesimpulan apakah saya sudah masuk daftar blokir atau tidak. Saya harus menunggu setidaknya satu minggu ke depan. Jika nantinya ada tulisan penulis lain dengan tema serumpun dimuat redaksi, itu artinya saya sudah harus berhenti mengirim tulisan ke koran itu.
0 Comments