Kemarin (25/08/19) tanpa sengaja saya terlibat perdebatan kecil dengan seorang teman di Facebook. Si teman menulis sebuah postingan dengan maksud menyindir salah satu ormas. Tampaknya ormas yang dimaksud adalah Banser.
Postingan itu hampir mirip dengan postingan Jonru beberapa hari lalu. Si teman menyindir Banser yang katanya suka membubarkan pengajian tapi lemah syahwat ketika bendera Bintang Kejora berkibar.
Soal Banser yang suka “berisik,” saya sepakat, karena ormas itu memang sering begitu. Bukan sekali dua, tapi berkali-kali. Di sini saya sepakat dengan si teman. Tapi, saya kurang sepakat ketika dia menghubungkan ormas itu dengan bendera OPM.
Saya menangkap kesan bahwa si penulis postingan itu ingin agar ormas tersebut melawan OPM. Jika yang dilawan itu benar-benar OPM tentu tak jadi soal selama perlawanan itu mendapat restu dari presiden selaku pemimpin negara.
Namun begitu, yang namanya serang-menyerang dan perang tentunya tidak hanya akan menyasar OPM, tapi juga akan berimbas pada masyarakat yang dianggap sebagai OPM, atau setidak-tidaknya dituduh mendukung OPM. Di sinilah kekacauan akan terjadi. Jangankan ormas, militer saja yang sudah terlatih belum tentu bisa mengontrol pergerakan pasukannya di tengah kecamuk perang.
Karena itulah saya memberi komentar di postingan si teman. Saya katakan bahwa Bintang Kejora itu sama dengan Bintang Bulan. Dan untuk soal Papua baiknya diselesaikan secara beradab. Kira-kira demikian.
Anehnya, si teman “mengamuk.” Dia katakan dulu di Aceh tidak pernah dipertimbangkan kemanusiaan oleh militer dan langsung diserang. Jadi kenapa harus mempertimbangkan kemanusiaan di Papua. Itu tidak adil. Demikian kira-kira balasan si teman.
Kemudian saya beri semacam ilustrasi. Misalnya saya dipukul oleh si A, tapi kawan yang duduk di samping saya tidak dipukul. Saya tanya ke si teman, apakah saya harus mendesak si A untuk memukul juga teman saya agar adil? Artinya jangan saya saja yang dipukul, tapi teman saya juga harus dipukul.
Anehnya si penulis postingan itu kembali “mengamuk.” Katanya analogi saya cacat. Karena sudah begitu akhirnya saya balas:”Segera desak militer untuk menghantam Papua sampai hancur dan kita akan bergembira dan tertawa karena keadilan telah tegak,” kira-kira demikian balasan saya.
Beberapa menit kemudian semua komentar yang berisi perdebatan saya dengan si teman itu pun dihapus. Dia hanya menyisakan komentar saya yang pertama.
Begitulah jadinya ketika keadilan itu dimaknai secara keliru. Adil dipahami sebagai sama. Jika yang satu sakit maka semua harus sakit. Seharusnya yang pernah merasa sakit berusaha agar yang lain tidak lagi sakit. Kan begitu?
0 Comments