Salah satu syarat untuk mendaftar yudisium di Pascasarjana UIN Ar-Raniry adalah menyerahkan salinan tesis yang sudah dicetak kepada para penguji. Karena alasan itulah, beberapa hari lalu saya menemui guru saya sekaligus penguji tesis, Profesor Syamsul Rijal, di ruangnya di Fakultas Ushuluddin.
Setelah menyerahkan satu eks tesis dengan judul “Wahhabi dalam Perspektif Himpunan Ulama Dayah,” saya juga menghadiahkan tiga buku saya kepada beliau. Tiga buku itu masing-masing berjudul: (1) Habis Sesat Terbitlah Stres: Fenomena Anti Wahabi di Aceh; (2) Syariat dan Apa Ta’a: Fenomena Sosial Keagamaan Pasca Konflik Aceh; dan (3) Demokrasi Kurang Ajar.
Setelah menerima buku itu, Prof Syamsul mengajak untuk berfoto sambil memegang buku. Dalam konteks kekinian, dengan adanya media sosial, foto semisal ini adalah wajar saja. Tidak ada yang aneh.
Setelah berfoto dan berbincang sejenak tentang soal yudisium dan wisuda, saya pun pamit dan meninggalkan ruang beliau. Saya menuju ke Fakultas Adab dan Humaniora untuk menyerahkan tesis kepada Prof. Mishri A. Mukhsin. Setelah itu saya menuju ke warkop Dekmi Rukoh untuk bersantai sejenak.
Sambil meneguk minuman dan mengunyah beberapa kue, seperti biasa, saya pun membuka facebook. Tanpa sengaja saya melihat foto yang diposting Prof. Syamsul. Foto itu biasa saja dan tidak ada yang aneh.
Cuma saja saya sedikit kaget ketika melihat komentar di bawah foto. Terlihat sebagian komentator memberikan apresiasi dan sebagian lainnya justru “menyerang” Prof. Syamsul hanya karena beliau memposting buku saya.
Para “penyerang” itu sebagian saya kenal dan pernah bertemu di kedai kopi. Ramai juga yang tidak saya kenal secara langsung, tapi hanya sekadar melihat-lihat postingan mereka di facebook.
Sebagian besar dari komentator yang “menyerang” Prof. Syamsul adalah alumni dayah. Saya sendiri yakin bahwa beliau tidak pernah menduga akan muncul respons negatif pada postingan beliau. Sekiranya beliau tahu begitu, mungkin saja beliau tidak akan memposting buku-buku saya.
Selama ini, khususnya di Aceh, memang ada beberapa oknum kader dayah yang marah kepada tulisan-tulisan saya, terlebih soal Wahabi. Saya dianggap sebagai pembela pemikiran Wahabi.
Bagi saya, penilaian seperti itu tidak menjadi soal, karena itu adalah hak mereka. Namun yang disayangkan adalah pola perlawanan yang menggunakan caci maki yang sering mereka lakukan. Tentunya sikap seperti itu tidak mencerminkan watak dayah. Saya sendiri pernah mengaji di dayah sehingga saya tahu betul karakter orang dayah.
Anehnya lagi sebagian komentator itu justru belum pernah membaca buku saya, mereka hanya melihat judul dan kemudian “mengamuk.” Lagi-lagi, bagi saya, respons semisal itu saya anggap wajar saja. Saya cenderung menganggapnya sebagai hiburan.
Seharusnya, jika memang mereka merasa diri sebagai intelektual, apalagi beberapa di antara mereka adalah alumni Mesir, mereka bisa membuat bantahan dengan tulisan yang lebih terhormat. Tapi, mereka tidak melakukan itu, mereka lebih memilih caci maki sampai mulut berbusa.
0 Comments