“Masa depan” adalah satu frasa yang sering terucap dari mulut manusia. Frasa itu terus diulang sepanjang zaman di lintas benua dan semua peradaban. Sebuah frasa yang hakikatnya abstrak. Semacam bayang-bayang dan fatamorgana yang ilusif.
Bagaimana frasa “masa depan” itu dimaknai? Adakah ia sebuah zaman dalam lintasan waktu? Ataukah ia sebuah tempat berwujud konkret yang dapat dilihat? Atau mungkin ia hanya sekadar rasa yang hinggap di benak manusia?
Dalam konteks kebahasaan, masa depan adalah “antonim” dari frasa masa lalu. Jika masa lalu dipahami sebagai zaman, kondisi dan rasa yang telah terlampaui, maka masa depan adalah harapan, penantian dan zona transit yang belum terjamah.
Jika masa depan itu zaman, maka ia adalah ruang waktu yang belum terlihat. Jika masa depan itu tempat, maka ia merupakan wujud terang yang masih terhijab. Dan, jika masa depan itu sekadar rasa, maka ia hanya pengalaman imaji yang belum berwujud.
Orang-orang sering bergumam, “Demi masa depan.” Lantas bagaimana omongan itu dipahami? Ada tiga tanya yang mesti dijawab. Jika masa depan itu waktu, kapan ia datang? Jika masa depan itu tempat, di mana ia sekarang? Dan jika masa depan itu rasa, bagaimana ia hadir?
Orang tua sering mengatakan pada anaknya bahwa masa depan itu ketika ia dewasa. Orang dewasa kerap membayangkan masa depan di hari tua. Dan orang-orang jompo pun masih bercerita tentang masa depan setelah ia tiada.
Jika begitu, maka tak seorang pun punya masa depan. Seorang anak kecil akan kehilangan masa depan di masa dewasa dan ia harus menunggu masa depan di hari tua. Dan orang-orang yang sudah renta pun luput dari masa depan dan harus menunggunya setelah ia tiada. Demikian jauhnya masa depan.
Orang miskin mengkhayalkan masa depan setelah dia kaya. Sementara orang kaya pun masih memperbincangkan masa depan setelah ia kaya raya. Dan orang kaya raya ternyata juga masih menunggu masa depan.
Orang bodoh mengangankan masa depan setelah ia pandai. Selanjutnya orang-orang pandai pun masih menanti masa depan. Bahkan orang paling pandai pun mengaku belum bertemu masa depan.
Betapa sulitnya menemukan orang-orang yang berteriak bahwa ia sudah berada di masa depan. Betapa susahnya mendapati orang-orang yang mengaku sudah mendapatkan masa depan. Dan betapa peliknya menjumpai orang-orang yang bercerita bahwa ia sudah merasakan masa depan.
Jadi, apa sebenarnya masa depan itu?
0 Comments