Tulisan ini ditulis bukan untuk membela perokok, apalagi saya sendiri adalah perokok, tapi sekadar pandangan subjektif agar kita bisa menilai perokok secara objektif dan berkeadilan.
Saya pribadi tidak menolak pendapat yang menyebut bahwa aktivitas merokok berbahaya. Saya sepakat dengan pendapat itu seperti halnya saya sepakat bahwa berbagai makanan dan minuman yang kita konsumsi setiap hari juga mengandung potensi bahaya.
Yang menjadi soal saat ini adalah kampanye antirokok yang terlalu berlebihan sehingga terkesan lebay. Kampanye bernuansa negatif tersebut tidak hanya memunculkan kebencian kepada rokok, tapi lebih dari itu juga melahirkan sikap tak “senonoh” terhadap para perokok.
Seperti sering kita baca, lihat dan dengar sendiri, ada sebagian kalangan yang menghubungkan moral seseorang dengan rokok. Tegasnya, sering kali seorang perokok dianggap sebagai sosok immoral. Perokok adalah sosok yang dianggap berperilaku buruk, jahat atau sekurang-kurangnya dilabel sebagai sosok yang tidak sopan dan tidak patut ditiru.
Anggapan semisal itu seolah menimbulkan kesan bahwa sosok yang tidak merokok adalah orang-orang saleh, baik budi dan juga manusia paling sempurna di muka bumi. Kesan ini terlihat semakin kuat ketika lontaran dan pelecehan terhadap perokok justru lebih sering muncul dari mereka yang tidak pernah merokok.
Mereka “menyerang” para perokok dengan membabibuta dan pukul rata. Semua perokok dianggap sama saja. Perokok adalah orang-orang kotor yang harus dijauhi dan bahkan dimusuhi.
Asap rokok adalah salah satu topik yang sering mereka komentari. Saya sepakat bahwa asap-asap itu sangat menganggu bagi mereka yang tidak merokok. Tapi menyamakan semua perokok dengan ulah sebagian oknum adalah tidak adil, sebab di luar sana masih ramai perokok yang tahu diri. Mereka tidak merokok di keramaian dan justru mencari tempat terpencil saat ingin merokok. Sayangnya perokok seperti ini pun terkena imbas dan stempel pukul rata dari mereka yang antirokok.
Sebagian mereka juga ada yang menuduh perokok sebagai orang boros yang membakar uang. Padahal kalimat yang tepat adalah mengisap uang, bukan membakar. Sama seperti mereka yang setiap hari makan mi instant sering disebut memakan uang, bukan menghancurkan uang.
Ada juga yang mencoba bermain logika bahwa merokok itu sia-sia sedangkan makan itu bermanfaat. Ini adalah penilaian konyol sebab mereka menghakimi perokok tanpa mengerti kenikmatan yang didapatkan perokok.
Padahal merokok sama saja dengan makan. Makanan mengenyangkan perut sementara rokok mengenyangkan pikiran. Hal ini hanya dipahami oleh perokok, bukan oleh mereka yang antirokok. Jika orang antirokok boleh makan berbagai makanan demi kenikmatan perut, lantas kenapa perokok tidak boleh merokok demi kenikmatan yang lain?
Kembali ke soal moral. Saya sepakat bahwa merokok sembarangan adalah tidak bermoral. Tapi kita juga harus adil, bahwa orang yang makan dan minum sembarangan juga immoral.
0 Comments