Kita mungkin sepakat bahwa dalam konteks kekinian media sosial adalah tabung raksasa yang mampu merekam hampir semua informasi. Tidak hanya merekam, tapi tabung itu kemudian menyebarkan muatannya melalui ratusan, ribuan, jutaan dan bahkan milyaran kanal yang terhubung ke seluruh penjuru.
Rekaman yang berlimpah itu tidak muncul dengan sendirinya. Tapi ia adalah produk dari kesadaran manusia-manusia modern, atau mungkin pula dari ketidaksadaran.
Sebagai sebuah tabung, tentunya ia harus diisi. Dan hanya manusia yang mampu mengisinya hingga penuh. Dalam proses pengisian itulah kesadaran dan ketidaksadaran itu bermain, bergumul dan saling berpelukan.
Dalam kondisi informasi yang melimbah kesadaran dan ketidaksadaran itu kemudian menyatu membentuk satu gumpalan baru. Gumpalan-gumpalan itu menggelinding menerobos kanal-kanal hingga akhirnya bermuara pada mulut menganga yang siap sedia menelan apa saja.
Lalu, mulut-mulut itu melahirkan beragam komentar berisi hasutan, kecaman, celaan, pujian, simpati sampai jilatan sebagai parade rasa dari pemiliknya. Lalu segenap rasa itu kembali berpelukan dan bersetubuh sehingga melahirkan gumpalan baru yang kemudian kembali diserap tabung raksasa; lagi-lagi menyebar melalui kanal-kanal menuju muara baru.
Akhirnya sampailah kita pada peradaban dua muka; peradaban informasi yang sulit dimengerti. Kita akan berhadapan dengan limbah informasi yang menguap, melembak dan meluap-luap.
Dalam peradaban dua muka otoritas penafsiran bergerak liar sehingga informasi tidak lagi menjadi pencerahan, tapi justru menghadirkan kebingungan.
0 Comments