Pagi tadi, cerpen saya dengan tajuk “Pensiun” dimuat Serambi Indonesia edisi Minggu, 3 November 2019. Nassau cerpen itu saya kirimkan ke redaksi sekira dua minggu lalu. Untuk menulis cerpen itu saya menghabiskan waktu dua jam.
Tokoh dalam cerpen tersebut saya beri nama Doktorandus Sabrun Majid (selanjutnya disebut Pak Majid). Cerita tersebut terinspirasi dari perilaku sebagian oknum kepala sekolah yang pernah saya kenal. Sebagai guru, dalam lima belas tahun terakhir saya memang sering bergaul dengan kepala sekolah.
Saya mencoba menggambarkan sikap ganda yang dimiliki oleh sosok Pak Majid. Pada awalnya Pak Majid adalah seorang guru yang sangat malas mengajar. Dia sering bolos sekolah dan sering menghabiskan waktu di kedai kopi.
Namun begitu, pada saat masih menjadi guru, Pak Majid sangat dekat dengan murid-muridnya. Dia menganggap murid-muridnya seperti anak sendiri. Saat itu Pak Majid juga sangat dekat dengan kawan-kawannya sesama guru di sekolah. Musuh Pak Majid di sekolah hanya satu, yaitu kepala sekolah. Dia benci kepada kepala sekolah karena atasannya itu sering memarahinya pada saat dia bolos mengajar.
Selain itu, ketika masih menjadi guru, Pak Majid juga dikenal sebagai sosok yang sangat sosial dan akrab dengan masyarakat kampung. Pak Majid selalu menghadiri kenduri di kampungnya. Tidak cuma itu, dia juga rajin membantu berbagai pekerjaan di rumah kenduri.
Sebelum menjadi kepala sekolah, Pak Majid juga sangat menyayangi istri dan anaknya. Dia sering membantu pekerjaan istrinya di rumah. Demikian sikap Pak Majid sebelum menjadi kepala sekolah.
Sayangnya, Pak Majid adalah manusia biasa yang begitu cepat berubah. Pada saat dia menjadi kepala sekolah, sikapnya pun berubah. Dia terlena dan diperbudak oleh jabatannya sampai akhirnya orang-orang terdekatnya menjauhinya. Hal itu terjadi bertahun-tahun sampai dia memasuki usia pensiun.
Di masa pensiun Pak Majid menghabiskan waktu bersama istri dan anaknya. Sementara hubungannya dengan limgkungan telah terputus. Pada saat itulah Pak Majid menyesal.
0 Comments