Sebagian kita cenderung lebih suka melakukan simplifikasi masalah daripada melihatnya secara utuh. Jika masalah tersebut sederhana memang tak jadi soal untuk disederhanakan kembali melalui simplifikasi. Namun jika masalah itu bersifat kompleks, maka pola simplifikasi justru akan melahirkan kesimpulan destruktif.
Sebagai contoh, sebagian kita sering menyamakan antara keberanian dan kegilaan. Orang berani sering dianggap gila dan orang gila diyakini sebagai berani. Akhirnya berani dan gila pun cenderung dianggap sama saja. Ini adalah salah satu bentuk simplifikasi paling ekstrem yang sering terjadi.
Padahal, ditinjau dari perspektif mana pun, gila dan berani justru memiliki perbedaan yang kontras, meskipun keduanya terlihat mirip. Artinya, tidak semua yang mirip itu sama. Seperti si kembar Ana dan Ani. Meskipun mirip, namun si Ana bukanlah si Ani.
Demikian pula dengan berani dan gila. Berani adalah tindakan sadar. Sebaliknya, gila adalah manifestasi ketidaksadaran. Berani adalah sikap, sedangkan gila adalah penyakit.
Terkait perbedaan berani dan gila ini, ada satu contoh yang paling masyhur. Tentang pembunuh harimau. Orang berani yang ingin membunuh harimau akan mengasah parang, mempersiapkan tombak dan jika perlu membawa senapan. Dengan alat-alat itulah dia membunuh harimau.
Sementara orang gila tidak butuh itu. Dia akan menyerang harimau dengan tangan kosong. Namun anehnya, orang gila ini justru dianggap lebih berani dari orang berani.
Demikian pula sikap takut dan tidak tega, juga kerap disamakan. Padahal keduanya juga memiliki perbedaan yang sangat kontras. “Takut” membunuh kucing tentunya berbeda dengan “tidak tega” membunuh kucing.
Contoh lain, ada seorang kakek yang memukul kita pakai rotan. Dalam satu kondisi, ketika dipukul, kita tidak membalas karena takut kepada si kakek atau takut pada konsekuensi lainnya seperti dipenjara. Sementara dalam kondisi lainnya kita tidak tega membalas pukulan karena si kakek sudah tua atau tidak tega karena akibat lainnya seperti tangisan cucunya. Meskipun keduanya jelas berbeda, namun sebagian orang cenderung menganggap sama.
Kurang ajarnya lagi, tuduhan tidak berani membalas alias tuduhan takut terkadang justru datang dari si kakek itu sendiri. Dia tidak sadar bahwa ketidaktegaan kita itulah yang telah melenyapkan amarah kita sehingga wajahnya tidak jadi benjol. Ini sekadar contoh.
Jadi, “takut” adalah bentuk ketidaksiapan kita menerima konsekuensi yang akan menimpa diri kita sendiri jika sesuatu itu kita kerjakan. Adapun “tidak tega” adalah ketidaksangupan kita dalam menyaksikan konsekuensi yang akan diterima orang lain dari tindakan kita.
Tapi, saya ragu. Entah tulisan ini dipahami atau tidak.
0 Comments