Semasa kuliah di Banda Aceh tahun 1999, saya dikirimi uang dari kampung sekitar 600-700 ribu rupiah perbulan. Pengiriman dilakukan tiga tahap: awal bulan, pertengahan dan menjelang akhir bulan. Jumlah yang lumayan untuk mahasiswa kelas ekonomi sederhana seperti saya.
Dengan uang sejumlah itu, saya masih bisa makan 3 kali sehari, meskipun sesekali saya punya hobi makan nasi putih plus Ajinomoto mentah. Sementara untuk kebutuhan kuliah, ayah saya menyediakan anggaran khusus sesuai proposal yang saya ajukan.
Meskipun kebutuhan saya semasa kuliah terbilang cukup, tapi saya tetap mencoba bekerja kalau ada waktu kosong. Ada banyak pekerjaan yang saya lakoni semasa kuliah, dari jualan kopi sampai jualan kue. Dan beberapa lainnya tergolong dalam “kerja keras” alias “kerja kasar” semisal kerja bangunan.
Saya tergolong mahasiswa yang paling malas pulang kampung pada waktu libur kuliah. Pada saat libur, orangtua selalu meminta saya pulang kampung. Tapi saya mengajukan beribu alasan. Pokoknya tidak pulang.
Pernah pada suatu ketika menjelang Ramadan, orangtua merasa kurang bersemangat karena saya tidak pulang. Mereka ingin saya berada di kampung pada saat Ramadan. Bisa puasa bersama, buka bersama, tarawih bersama dan seterusnya. Tapi, saya tetap tidak pulang.
Saat itu saya sampaikan kepada almarhumah Ibu dan ayah bahwa saya mau bekerja selama libur Ramadan. Mereka protes. Mereka tidak setuju saya kerja, sebab uang sudah dikirim setiap bulan. Tapi setelah saya rayu “begana dan begini,” akhirnya mereka mengizinkan, dengan berat hati.
Saya mulai masuk kerja bangunan pada hari pertama Ramadan. Saya lupa, entah tahun 2000 atau 2001. Saat itu ada proyek pembangunan gedung di Unsyiah. Kalau saya tidak salah, gedung itu sekarang bernama Gedung Dayan Dawood.
Saya bekerja di bagian “ikat kawat besi” yang dipakai sebagai “tulang beton.” Sampai sekarang saya tidak tahu istilah atawa nama resmi benda itu. Tugas saya mengikat dan membentuk besi-besi kecil itu menjadi persegi panjang. Saya digaji Rp. 18.000 perhari untuk itu.
Hari pertama saya lalui dengan sangat berat. Saya bekerja di lantai atas yang masih beratap langit. Tapi syukur, saya tetap bisa menjaga puasa dalam kondisi cukup panas. Sementara teman-teman saya hampir semuanya tidak berpuasa.
Di bagian bawah gedung proyek ada sebuah lemari kecil. Isinya makanan, minuman dan rokok. Ketika jam istirahat, para pekerja berkerumun di lemari itu, memesan makanan dan minuman. Sementara saya duduk terpaku menatap mereka yang dengan lezatnya menikmati makan minum dan mengisap rokok.
Di depan lemari itu ada tulisan kecil bertuliskan “Kantin Neraka.” Ketika ada pembeli, si penjual selalu mengingatkan agar si pembeli sebaiknya tetap berpuasa dan jangan tergoda. “Ini Kantin Neraka,” kata si penjual. “Kalau beli, dosa tanggung sendiri.”
Setelah mencoba mencari tahu, ternyata “Kantin Neraka” ini dimodali oleh beberapa pekerja. Mereka mengumpulkan modal untuk membeli stok makanan dan minuman, sebab bulan Ramadan semua warung tutup siang hari.
Selama bekerja di sini, saya menyaksikan kantin ini laris manis. Ini adalah satu-satunya kantin yang ada dalam lingkungan proyek. Makanan yang dijual di kantin ini lumayan mahal, tapi tetap saja laku, sebab semua warung tutup.
Saya terus bekerja dalam kondisi berpuasa sembari berdoa agar sore cepat datang, meskipun jam masih menunjukkan pukul 10 pagi. Memang beberapa kali saya hampir tergoda dengan “tarikan” dan semburan asap rokok di depan kantin, tapi saya tutup mata sambil berkhayal agar malam segera tiba.
Pada suatu hari, bos kami menawarkan agar saya pindah kerja mengaduk semen. Katanya, di bagian aduk semen gajinya lumayan tinggi, sekitar Rp. 45.000. Tapi syaratnya tidak boleh puasa, sebab kerja mengaduk semen berat, makanya dibayar mahal. Untuk makanan ada di “Kantin Neraka,” kata si Bos.
Saat itu, saya menolak kerja aduk semen dan tetap bekerja di bagian ikat kawat dengan gaji Rp. 18.000. Bagi saya, kerja ikat kawat lebih ringan, walaupun dibayar murah.
Saya terus bekerja selama 28 hari dengan tetap berpuasa di siang hari dan makan minum sepuasnya di malam hari.
Saya merasa menang, karena selama bekerja, tidak pernah menjadi pelanggan Kantin Neraka.
Saya mendapatkan gaji penuh dari kerja ikat kawat sejumlah Rp. 504.000, bulat tanpa pemotongan.
Dengan uang itulah saya berhari raya di Darussalam yang kondisinya sudah sangat sepi, sebab hampir semua mahasiswa pulang kampung. Rumah yang saya tempati di Lampoh U juga sunyi, semua pulang kampung.
Saat itu adalah pertama kalinya saya berhari raya jauh dari orangtua. Tapi saya puas, dapat uang hasil usaha sendiri dan tidak menjadi pelanggan Kantin Neraka.
Dan, semua kita pernah gila pada masanya.
0 Comments