Peristiwa yang terjadi baru-baru ini di Birem Bayeun, Aceh Timur adalah sinyal kuat bahwa hukum qishah mesti segera ditegakkan di Aceh. Tak peduli apakah hukum itu nantinya akan ditentang oleh penggawa Hak Asasi Manusia atau pun dikecam dunia internasional.
Yang jelas hukum itu harus segera lahir demi menyelamatkan kemanusiaan kita di Aceh yang kian hari kian terancam.
Aksi pembunuhan dan penghilangan nyawa manusia tanpa hak, bukan lagi hal baru di Aceh. Kasus itu terus berulang dari waktu ke waktu. Dan kita hanya bisa mendengar dan kemudian mengutuknya dalam sunyi, tanpa adanya regulasi yang bisa “menggantung” para pelaku di alun-alun.
Pembunuhan adalah kejahatan terbesar di muka bumi. Teks-teks agama menjelaskan demikian, bahwa membunuh satu orang manusia sama dengan membunuh semuanya.
Ada banyak faktor kenapa pembunuhan terus terjadi, mulai dari motif politik, ekonomi, perbedaan ideologi, sampai soal sperma.
Dalam konteks bunuh-membunuh, manusia adalah makhluk “paling sadis” dibanding binatang, sebab pembunuhan yang dilakukan binatang hanya untuk mempertahankan hidup.
Pembunuhan dengan cara membakar, multilasi, penghancuran dengan bom dan senjata kimia hanya mampu dilakukan oleh bangsa manusia, sementara binatang tidak sampai ke maqam itu. Dalam hal ini mereka kalah dari manusia-manusia bejat yang minus moral.
Peristiwa di Aceh Timur baru-baru ini adalah salah satu contoh bagaimana bejatnya pelaku, yang bukan saja memangsa seorang ibu, tapi juga membantai anaknya, anak kecil yang sama sekali tak berdaya.
Anak bernama Rangga itu mati terhormat karena melindungi kehormatan ibunya yang dirampas manusia bejat, manusia yang lebih rendah dari binatang ~ yang binatang pun enggan disamakan dengannya.
Sebelumnya, belum hilang dari ingatan kita, aksi pembunuhan di Aceh Utara (Ulee Madon) yang juga telah mengguncang rasa kemanusiaan kita, di mana pelaku membantai istri dan bayi yang belum selesai menangis.
Menyimak kondisi ini, persetan dengan aktivis HAM, yang dalam beberapa hal mungkin kita dukung, tapi tidak untuk perkara semacam ini, tindakan sadis yang semestinya dibalas dengan kesadisan serupa, bukan oleh kita, tapi oleh negara melalui penegakan hukum qishah.
Tapi, apakah DPR Aceh dan pemerintah berani mengambil sikap ini? Menegakkan qishah di “bumi syariat” yang selama ini terkesan fokus pada rok perempuan?
Kita akan lihat, apakah mereka punya keris?
Ilustrasi: Al Bayan
0 Comments