Untuk menyelesaikan pendidikan pascasarjana di UIN Ar-Raniry, saya menulis tesis dengan judul “Wahabi dalam Perspektif HUDA dan Implikasinya Terhadap Kehidupan Sosial Keagamaan di Aceh.” Meskipun sidang proposal telah saya ikuti pada akhir 2015, namun saya baru benar-benar menyelesaikan tesis itu pada 2019, menjelang DO. Alasannya cuma satu, malas.
Untuk memperoleh data, selain menggunakan referensi tertulis, saya juga melakukan wawancara dengan beberapa ulama dayah, baik yang karismatik atau pun yang tidak karismatik.
Salah satu ulama karismatik yang saya wawancarai adalah Tgk Mustafa Puteh yang lebih dikenal dengan Abu Paloh Gadeng. Sebagai salah seorang ulama yang bermukim di salah satu basis Aswaja di Aceh, mewawancarai beliau adalah penting.
Awalnya saya sempat bingung karena tidak kenal dengan beliau dan hanya mendengar namanya saja.
Pertama kali saya melihat Abu Paloh Gadeng pada saat beliau berkunjung ke dayah tempat saya pernah mengaji, Darussa’dah Cabang Cot Bada, ketika guru saya, Tgk. H. Jamaluddin, mantan Ketua MPU Bireuen meninggal dunia. Mungkin sekitar sepuluh tahun lalu, atau lebih. Saya tidak ingat persis.
Karena itu, saat ingin melakukan penelitian, saya dilanda kebingungan. Tapi itu tidak lama.
Tiba-tiba saya langsung ingat kepada dua orang teman yang pernah menjadi santri beliau. Melalui kedua teman inilah akses ke Abu Paloh Gadeng terbuka.
Tapi saat itu saya menemui kendala lain. Teman saya tidak berani menelepon langsung ke HP Abu Paloh Gadeng dengan alasan segan dan “kurang hormat.” Hal ini terbilang wajar belaka, karena masing-masing orang punya cara tersendiri untuk mengekspresikan rasa hormat kepada gurunya.
Akhirnya, kami bersepakat menuju ke Kota Lhokseumawe dengan keyakinan beliau ada di sana. Saya dan teman langsung saja masuk ke kantor MPU Lhokseumawe, tapi beliau tidak ada. Kata petugas di sana, Abu Paloh Gadeng bukan di MPU Lhokseumawe, tapi di MPU Aceh Utara. Akhirnya kami pulang.
Teman saya kemudian mengatur strategi lain. Dia mencoba menghubungi temannya di Dayah Paloh Gadeng untuk dijadikan sebagai informan. “Kalau ada Abu di dayah segera kabari,” kata teman saya kepada temannya.
Selang beberapa hari, informan memberi kabar bahwa Abu ada di dayah. Dengan sedikit tergesa-gesa kami pun meluncur ke Dayah Paloh Gadeng, jalan menuju Nisam, Aceh Utara.
Kami tiba di dayah selepas dhuhur. Teman saya mengetuk pintu dan tidak lama kemudian, Abu Paloh Gadeng keluar dengan setelan jas, kain sarung, peci putih dan ridak di bahunya. Meskipun tampak tua dengan janggut memutih, tapi beliau terlihat gagah.
Melihat Abu keluar, teman saya langsung memberi hormat dengan mencium tangan gurunya. Saya juga menyalami Abu dengan sedikit menunduk. Cuma saya lupa apakah saya ada mencium tangan atau tidak.
Kami duduk di teras. Saya duduk pas di samping Abu untuk memudahkan wawancara. Belum lagi pertanyaan-pertanyaan itu keluar, kami sudah disuguhkan kopi dan makanan ringan oleh seseorang, sepertinya santri.
Sebagai perokok, sebenarnya sangat berat bagi saya untuk tidak merokok. Tapi melihat beliau tidak merokok saat itu, saya pun menahan diri demi menghormati beliau.
Kami berbicara dengan sangat santai. Abu menjawab semua pertanyaan dengan santun dan sesekali tampak bergurau.
Karena penelitian saya tentang Wahabi, terkadang pembicaraan menjadi tegang. Dan ini wajar, karena Abu adalah salah seorang tokoh Aswaja di Aceh.
Saat itu saya juga sempat bertanya soal “zikir anti Wahabi” yang berbunyi Wahabi Paleh. Dari jawaban beliau saya tahu beliau tidak sepakat dengan hal itu, meskipun menurutnya ajaran Wahabi tetap harus ditolak.
Beliau juga mengatakan, “Wahabi itu memang sesat, tapi mereka bukan kelompok Mujassimah atau Musyabbihah, apalagi kafir.”
Terlepas dari apa saja yang beliau sampaikan, saya berkesimpulan bahwa beliau adalah sosok yang cukup ramah dan mampu berkomunikasi dengan seimbang dan jauh dari kesan elitis.
Saya bertemu dan mewawancarai beliau pada Oktober 2016. Bagi saya itu adalah pertemuan pertama dan terakhir dengan Abu Paloh Gadeng.
Tadi siang saya mendengar kabar beliau telah berpulang. Innalillahi wa inna ilaihi rajiun. Semoga Allah ampuni dosa-dosanya dan semoga beliau mendapat tempat yang layak di sisiNya.
0 Comments