Tampil elite terkadang menjadi dambaan sebagian orang. Bahkan ada yang mengira penampilan elite akan secara otomatis menjadikannya sebagai sosok elitis.
Tentu ada banyak cara agar kita dipandang sebagai elite oleh teman atau lawan bicara. Sebagai sebuah style, tampilan elite ini bisa dimunculkan dalam kondisi apa saja, tergantung niat dan profesi.
Seorang penyanyi misalnya, ketika berbicara sesama penyanyi dia akan mencoba memamerkan beberapa keahliannya dalam mengolah vokal secara berulang sembari menunjuk beberapa prestasi yang pernah ia capai. Tujuannya hanya satu, “memaksa” lawan bicaranya yang juga penyanyi agar tertegun.
Jika sesama penyanyi saja begitu, maka ketika berhadapan dengan orang-orang di luar keahliannya, dia cukup berkata, “Ah suaramu kurang tinggi,” “Aduh, kamu harus fokus” dan seterusnya. Dia tidak akan berhenti sebelum orang-orang menjadikannya sebagai model atau standar dalam dunia tarik suara.
Demikian juga dengan seorang teungku atawa ustaz juga bisa menampilkan gaya-gaya elite di depan jamaah. Sebagai misal, agar dianggap elite mereka (sebut saja oknum), akan berbicara kearab-araban di depan jamaah yang “butahuruf”. Tentunya para jamaah akan terkesima mendengar cara bicara si oknum teungku atawa ustaz itu dan lalu berkata “Wah, fasih benar beliau.” Dalam kondisi inilah si jamaah akan menganggap oknum teungku itu sebagai elite.
Strategi serupa juga bisa digunakan ketika mengajar atawa memberi pengajian. Ketika mengajar tauhid misalnya sebagian mereka akan berkata, “Ilmu tauhid ini tidak mudah dan sangat sulit sekali. Kami saja butuh waktu puluhan tahun untuk paham.” Mendengar itu para jamaah hanya bisa mengangguk sembari berucap, “Memang ilmu ini sulit, hanya orang tertentu yang mampu mencerna.” Ketika kalimat ini terucap, si oknum tadi akan tersenyum karena kalimat itu telah mengantarkannya ke maqam elitis.
Dalam dunia kepenulisan juga begitu. Ramai yang mencoba menampilkan diri sebagai elitis layaknya penulis agung. Ada yang menampilkan diri sebagai “polisi bahasa” yang seolah menguasai tatabahasa, ejaan sampai majas sehingga kegiatan yang ia lakoni bukan lagi menulis, tapi mengkritisi tulisan orang lain. Dengan begitu ia telah mencoba menampilkan diri sebagai penulis elite atau setidaknya ingin dianggap elitis.
Ketika berhadapan dengan penulis lain dia acapkali memosisikan diri sebagai sosok paling keren sambil mengumbar prestasi yang pernah diraihnya. Bahkan tidak sedikit dari mereka yang sengaja menakuti-nakuti orang lain dengan kalimat, “Menulis itu susah dan sulit.” Dengan demikian posisinya akan semakin elite.
Itu hanya beberapa contoh saja tentang bagaimana seseorang berjuang agar dirinya dianggap elitis.
Lalu, bagaimana caranya agar kita terlihat elite?
Jawabannya mudah saja. Cukup dengan mengagungkan diri sendiri dan sebisa mungkin merendahkan orang lain, tentunya dengan cara yang halus dan hati-hati agar terlihat sedikit bijak.
Secara umum ada beberapa kiat untuk tampil elite:
Pertama, berpenampilan serapi mungkin.
Kerapian adalah salah satu cara atau standar awal untuk bisa tampil elite. Kerapian di sini tidak sekadar bersih, tapi style pakaian juga harus diperhatikan. Sebisa mungkin ciptakan tampilan yang berbeda dengan orang lain. Dan jangan lupa lengkapi dengan tisu di kantong celana untuk jaga-jaga jika ada debu yang menempel.
Jika nantinya secara tidak sengaja ada debu atau percikan air yang menempel di pakaian, segera keluarkan tisu dan lap dengan pelan diiringi tiupan udara ringan dari mulut yang sebisa mungkin dibuat lancip.
Demikian pula kalau ada serpihan asap rokok yang menempel di wajah, segera bersihkan dengan tisu. Caranya digosok halus dengan teknik memutar searah jarum jam.
Sering-sering juga untuk menepuk baju atau celana dengan halus ketika sedang berjalan, siapa tahu ada debu-debu kecil yang tak terlihat. Untuk menepuk debu ini cukup gunakan ujung jari.
Kedua, menjaga wibawa di keramaian.
Saat berkunjung ke warung kopi pastikan meja sudah bersih dan mengilap. Andai masih kotor, segera panggil pelayan dengan suara keras, atau jika perlu panggil pemilik warkop untuk membersihkan. Saat mereka datang jangan lupa melempar senyum kepada para pengunjung warkop atau pada teman, jika perlu marahi pelayan di depan orang-orang agar kualitas elite semakin meningkat.
Selesai minum, kalau lagi banyak uang, segera panggil pelayan dengan memukul meja satu kali. Lalu tempel uang di meja dengan tepukan keras.
Tapi, kalau sedang tidak ada uang jangan sampai ketahuan pengunjung lain. Harus tetap menjaga wibawa. Caranya, selesai minum langsung bangkit dan menuju meja kasir. Bisikkan pada kasir dengan suara lembut, “Tulis dulu ya. Lagi pusing, uang proyek belum cair.”
Ketiga, saat bertemu teman tidak perlu fokus dan tetap santai.
Ketika teman sedang berbicara tetaplah bersikap santai sambil menekan tombol-tombol android. Sesekali usahakan untuk mengangguk dan tersenyum walaupun suara teman sama sekali tidak masuk ke telinga. Kalau perlu sesekali usahakan untuk menelepon seseorang dan berbicaralah beberapa menit di telepon sampai si teman berbicara sendiri dan menguap.
Kalau ingin lebih elite, bisa juga dengan cara meninggalkan teman yang sedang berbicara. Lakukan dengan tiba-tiba dan langsung pergi sambil berucap, “Sebentar, ya!”
Keempat, agungkan diri di hadapan orang-orang.
Cara ini terbilang klasik, tapi masih layak digunakan untuk membangun citra elitis. Caranya dengan terus membicarakan prestasi di depan orang-orang. Sekiranya mereka memuji, usahakan untuk pura-pura tawadhu, “Ah kamu bisa aja. Biasa aja kok.” Tapi kalau ada yang coba-coba melecehkan, jangan mundur dan tetap harus berdiri tegak dengan bahu terangkat sambil berucap, “Kamu tidak paham soal ini, “Memangnya kamu pernah kuliah di luar negeri?” “Kamu sudah baca berapa buku?” “Tidak bisa Bung, kolom cuma disediakan untuk saya,” dan kalimat-kalimat heperbolik lainnya.
Kelima, jangan terlalu cepat merespons. Kalau tiba-tiba ada orang bertanya, usahakan untuk pura-pura tidak mendengar. Saat dia mengulang pertanyaannya, langsung tanyakan, “Apa?” Ketika dia kembali mengulang pertanyaan untuk ketiga kalinya baru dijawab, “Begini €`•{<~~……€¤Ï€.”
Keenam, sering-sering memotong pembicaraan. Cara ini memang sedikit ekstrem, tapi terbukti ampuh untuk bisa tampil elite. Semakin sering semakin baik, “Ah saya sudah tahu itu,” “Bukan begitu cara menganalisis,” dan kalimat-kalimat teror lainnya.
Itu adalah beberapa cara yang umum dipakai untuk mencitrakan diri sebagai elitis, tapi tentu masih banyak lagi, tergantung kreativitas masing-masing kita.
Intinya, tampil elite itu memang mengasyikkan dan akan semakin memantapkan citra kita sebagai boh leuping.
Ilustrasi: Copia
0 Comments