Baru-baru ini publik Indonesia kembali terkecoh dengan hoax murahan yang menjamur di beranda medsos. Hoax kali ini bertema religius dan tampak Islami.
Hoax dimaksud adalah foto seorang laki-laki yang disebut sebagai “syuhada” dengan senyum mengembang yang sontak saja membuat sebagian publik, khususnya Muslim, terkejut dan terkagum-kagum.
Dalam narasi hoax tersebut, pria itu disebut-sebut sebagai salah satu korban penembakan baru-baru ini yang menimpa anggota Front Pembela Islam (FPI). Namun, tidak butuh waktu lama, hoax itu langsung terbongkar dan publik pun kembali terkejut, kali ini bukan karena kagum, tapi karena sadar telah terbodohi alias meu’ut tukai.
Mendengar kabar penembakan terhadap beberapa anggota FPI, sebagai manusia, khususnya sebagai Muslim, tentunya kita berduka. Tidak cuma itu, tapi kita juga berharap, kasus itu segera terang-benderang sehingga menjadi jelas siapa yang berbohong. Ini penting agar kebingungan publik tidak berubah menjadi misteri abadi di masa depan.
Namun demikian, ekspresi kedukaan mestilah terukur dan rasional. Ini juga penting demi mempertahankan kewarasan di tengah semburan informasi yang simpang-siur, ngawur dan kabur.
Sebagai manusia, ekspresi kedukaan dapat ditunjukkan dengan mengutuk para pelaku, itu pun jika benar mereka ditembak tanpa perlawanan. Dan sebagai Muslim, ekspresi itu bisa dilanjutkan dengan ritual seperti mengurus jenazah mereka, menshalatkan mereka, dan selemah-selemah upaya adalah mendoakan mereka. Dengan demikian kedukaan kita menjadi bermakna.
Namun dalam kondisi rumit ini, ada pula segelintir pihak yang justru merawat kedukaan dengan membagikan gambar hoax beserta narasi-narasi tak bersanad sehingga kebingungan terus membiak.
Sebagai contoh, foto “syuhada gadungan,” tepatnya “mayat hidup” yang tersenyum lebar itu ~ yang orangnya justru masih hidup ~ yang mengaku dirugikan karena fotonya viral. Ini adalah bentuk hoax paling “sadis” dan berkualitas rendah tapi berdaya ledak tinggi karena muncul di tengah hiruk-pikuk.
Pertanyaannya, kenapa hoax ini bisa muncul di saat yang tepat? Jawabannya simpel saja, sesimpel mengorek-ngorek kuping atau mencungkil hidung di meja makan.
Hoax ibarat barang dagangan yang terus saja laku bagi orang-orang tertentu. Si produsen hoax tentu sudah melakukan riset sebelum informasi itu disebar sehingga ia tepat sasaran. Singkatnya, produsen hoax adalah kreator konten yang kreatif. Dia tahu apa yang diinginkan para pelanggannya, yaitu orang-orang yang membiarkan otaknya mendengkur.
Lalu, trik apa yang digunakan produsen hoax untuk menghanyutkan penggemarnya?
Sebagai kreator konten, produsen hoax tentu memiliki berbagai trik untuk membuat penggemarnya terkesima dan tercengang-cengang.
Hoax “syuhada gadungan” yang terkesan religius alias hoax religi itu misalnya, si kreator konten terbilang cukup mahir memainkan emosi pelanggannya yang selama ini beragama hanya dengan perasaan tanpa nalar.
Dia sengaja menggunakan kedangkalan pemahaman penggemarnya. Dia tahu, narasi-narasi berbau religius cukup mudah digunakan untuk mengaduk emosi para penggemarnya.
Bagi mereka yang beragama secara emosional pastinya akan segera menelan bulat-bulat informasi bohong semisal hoax “syuhada gadungan” dan juga provokasi-provokasi lainnya tanpa berusaha melakukan verifikasi.
Sebaliknya, mereka yang beragama secara rasional (bukan rasionalisme) mungkin akan terselamatkan dari serangan hoax semacam itu yang bukan saja dangkal, tapi juga norak.
Kemudian, sampai kapan hoax akan bertahan?
Hoax dalam kategori apa pun akan terus muncul dan bertahan selama kita membiarkan akal tertidur. Sebaliknya, hoax akan musnah dengan sendirinya ketika akal terbangun dan kita mulai berpikir waras.
Intinya pengendalian diri melawan hoax tidak cukup dengan menangkap pelakunya dengan seperangkat aturan, tapi juga membangunkan akal agar tidak lagi mendengkur.
0 Comments