Menjadi preman tidak mesti berbadan tegap, berwajah sangar, bersuara keras atawa bertato banyak, sebab premanisme bukan sekadar simbol belaka, tapi ia berakar dari kesadaran terdalam ~ untuk menzalimi, atawa serendah-rendahnya dilandasi oleh ketidaktahuan yang berimbas pada kezaliman terhadap orang lain.
Sosok-sosok preman juga tidak mesti bercokol di pasar-pasar, persimpangan jalan, atawa bertengger di terminal-terminal besar untuk menggertak dan menakut-nakuti pedagang dan penumpang, tapi sosok preman dan aksi premanisme terkadang juga hadir di ruang-ruang terhormat dan bahkan ruang suci sekali pun.
Kantor DPR sebagai ruangnya orang-orang terhormat atawa gedung-gedung birokrasi tempat berkumpulnya para birokrat, misalnya, juga tak lepas dari aksi premanisme dengan segala wujudnya. Mulai dari politik anggaran yang terjebak dalam aksi “bagi-bagi kue” sampai soal fee proyek yang membuat sebagian oknum kaya raya dan membuat rakyat miskin papa.
Lihat saja dalam aksi pembagian bantuan atawa proyek pembangunan rumah orang miskin yang melibatkan oknum politisi dan oknum birokrat, apakah benar-benar bersih? Bersih hanya di atas kertas, tapi di lapangan umumnya phak luyak. Saya berani menantang, kalau ada yang benar-benar bersih silakan potong kuku saya.
Ada banyak sekali oknum preman yang bermain dalam soal-soal semacam ini. Meskipun pelakunya berwajah manis, imut-imut, tidak bertato dan tidak berwajah sangar, namun pada hakikatnya mereka tetaplah preman alias preman-preman terdidik yang lihai menyiasati regulasi demi pundi-pundinya sendiri.
Di luar itu, aksi premanisme bahkan kerap terjadi di tempat ibadah, tempat paling mulia, paling suci dan tempat hamba bermunajat pada Tuhannya.
Tempat yang semestinya menghadirkan kekusyukan ini juga tak jarang dibuat gaduh oleh oknum-oknum berjubah, berjanggut panjang yang sama sekali tidak memiliki tato, dan bahkan berjidat hitam ~ hanya demi eksistensi, hegemoni, dominasi dan otoritas ~ bahwa merekalah yang paling akrab dengan Tuhan dan paling berhak menafsirkan ayat-ayat Tuhan secara absolut yang harus diterima tanpa reserve.
Lihat saja oknum pemuka agama yang sindir sana kecam sini sembari mengukuhkan bahwa kelompoknya yang paling ayu, paling sahih dan paling saleh sambil menujuk jidat kelompok lain dengan label sesat, bodoh dan menyimpang.
Meskipun terkadang mereka membaca ayat-ayat suci, namun mereka tetaplah preman ketika ayat-ayat itu mereka pelintir demi langgengnya penindasan terhadap perbedaan dan kukuhnya otoritas religius kelompok mereka. Dan setiap aksi yang memunculkan penindasan tetaplah premanisme.
Aksi premanisme ini memiliki landasan yang sama ~ keinginan untuk menindas yang kemudian bermanifestasi dalam ragam wujud, mulai dari yang paling sekular sampai yang paling religius.
Jika dipaksa-klasifikasikan, ada dua kelompok besar dalam beragam aksi premanisme. Kelompok pertama kita sebut saja preman sekular dan kedua preman religius. Kedua tipikal preman ini memiliki motif masing-masing dalam melakukan aksinya.
Preman sekular melakukan aksinya demi kepentingan duniawi alias keuntungan material dengan cara mengancam dan meneror pihak lain. Sementara preman religius bertindak untuk kepentingan keyakinannya dengan cara menjual ayat-ayat Tuhan dengan murah, atau mungkin tanpa harga sama sekali demi eksistensi dan otoritas kelompoknya.
Secara umum kedua tipikal preman ini bergerak menurut ideologi masing-masing secara mandiri dengan motif yang murni, baik sekular maupun religius. Namun terkadang kedua tipikal ini berpadu dan menyatu pada satu wujud, di mana aksi premanisme yang dilakukannya berada dalam dua dimensi, sekular dan religius ~ secara bersamaan.
Dalam praktiknya sebagian mereka melakukan aksi premanisme menggunakan pendekatan religius untuk kepentingan sekularnya. Atau sebaliknya, menggunakan pendekatan sekular untuk kepentingan (yang dianggap bagian) religi.
Sebagai contoh, aksi pelarangan pembangunan rumah ibadah tertentu di suatu tempat dengan dalih tidak adanya IMB karena ketakutan menjadi pesaing dalam penyebaran keyakinan adalah bagian dari premanisme religius yang menggunakan pendekatan sekular.
Sebaliknya pelarangan pengajian kelompok tertentu dengan dalih menyimpang karena ketakutan hilangnya eksistensi dan pendapatan bisa saja menjadi bagian dari aksi premanisme sekular yang bernuansa religius.
Intinya apa pun itu, selama memiliki nuansa penindasan, maka ia adalah premanisme!
Ilustrasi: globalnews
0 Comments