Secara khusus saya tidak pernah belajar kepada Tumin ~ sapaan akrab Tgk. Muhammad Amin bin Mahmud, tapi saya hanya belajar di salah satu dayah cabang Darussa’dah yang sanad keilmuannya bermuara pada Tgk. Muhammad Ali Irsyad di Teupin Raya. Namun begitu, sebagai warga Bireuen, nama Tumin tidaklah asing bagi saya. Sejak kecil saya sudah mendengar nama beliau disebut-sebut oleh teungku-teungku saya di dayah ~ sebagai seorang ‘alim yang bersahaja.
Selama hidupnya Tumin menjadi tempat bertanya, tidak saja bagi masyarakat Bireuen, tapi juga masyarakat Aceh pada umumnya. Di era 1990an hingga saat ini, bagi kalangan tradisional, Tumin telah menjelma sebagai salah satu rujukan paling otoritatif selepas meninggalnya dua tokoh besar lainnya: Abon Aziz Samalanga dan Abu Tanoh Mirah.
Di musim-musim politik, Tumin kerap dikunjungi oleh para politisi, mulai dari masa Orde Baru hingga Orde Reformasi. Tujuannya bermacam-macam. Ada yang mencari berkat, mencari dukungan dan ada pula yang sekadar menunjukkan kepada publik bahwa mereka dekat dengan ulama. Dan Tumin menerima semuanya tanpa pandang bulu.
Karisma Tumin sebagai seorang tokoh agama memang begitu terasa. Dia begitu dihormati oleh banyak kalangan, mulai dari masyarakat, birokrat dan juga militer. Bahkan kalangan modernis yang pemikiran-pemikiran keagamaanya sedikit berbeda juga menaruh hormat pada sosok ini. Sosok yang dikenal moderat, ramah dan lembut.
Meskipun lahir dan tumbuh dalam tradisi dayah, banyak pemikiran-pemikiran Tumin yang terbilang cukup moderat. Dalam beberapa hal, terkadang dia memiliki pandangan berbeda dengan tokoh-tokoh tradisional lainnya.
Pada 2016 saya berkesempatan bertemu dan mewawancarai beliau di rumahnya. Dari sejumlah narasumber, Tumin adalah tokoh yang paling sering saya kunjungi. Selain lokasi beliau yang terbilang dekat dengan saya, kesediaan dan keterbukaan beliau juga menjadi salah satu faktor yang membuka peluang bagi saya dan siapa pun untuk bisa bertemu beliau kapan saja tanpa dihalangi oleh “protokoler” yang ketat.
Saat berkunjung ke rumah beliau, saya diterima dengan cukup baik. Sembari menunggu beliau keluar ke ruang tamu, saya dan siapa pun yang berkunjung selalu disuguhi minuman dan makanan ringan. Meskipun berkunjung berulang kali, beliau selalu menjamu tamu-tamunya dengan penuh hormat.
Saat mengunjungi beliau untuk keperluan wawancara, saya menanyakan banyak hal terkait topik tesis yang sedang saya tulis. Salah satu pertanyaan yang saya ajukan adalah pandangan beliau terhadap Wahabi.
“Abu, apakah benar Wahabi itu sesat?” tanya saya saat itu.
Beliau tersenyum sembari menjawab, “Wahabi itu ahlul kiblat.”
Jawaban yang sepotong itu membuat saya kembali bertanya, “Apakah mereka sesat?”
Lagi-lagi dengan penuh ketenangan beliau menjawab, “Kalau mau disesatkan, jangankan Wahabi, orang-orang yang tak shalat, tak puasa juga sesat.”
Lalu beliau “menceramahi” saya bahwa kita tidak boleh terburu-buru memandang sesat orang lain. Bisa saja pemikirannya sesat, tapi kita tidak boleh menyesatkan orangnya, kata beliau saat itu.
Melihat beliau yang begitu terbuka saya pun tergelitik menanyakan pertanyaan yang mungkin sedikit ekstrem.
“Bagaimana pandangan Abu tentang perkataan sebagian orang bahwa memaki Wahabi sama dengan zikir dan mendapatkan pahala?”
Mendengar pertanyaan itu, beliau sedikit berkerut. “Itu bukan. Bukan itu. Itu mengacaukan gelombang. Bagaimana memaki sama dengan zikir. Tidak boleh!”
Jawaban itu keluar dari mulut beliau dengan spontan, bahkan sebelum pertanyaan itu habis saya ucapkan. Saya melihat ada kekesalan di wajah beliau. Mungkin saja beliau kecewa dengan pertanyaan tersebut. Namun jawaban yang beliau berikan semakin meyakinkan saya bahwa Tumin bukanlah sosok yang suka berdebat dan bukan pula sosok yang suka menyesatkan atau memandang rendah orang lain. Beliau selalu berpikir jernih menyikapi perbedaan-perbedaan yang ada.
Pertanyaan lainnya yang saya ajukan saat itu terkait dengan Parade Aswaja. Saya juga menanyakan pendapat beliau dalam hal ini. Saat itu Tumin menjawab bahwa beliau tidak setuju dengan cara-cara seperti itu. Menurut beliau tindakan pengerahan massa seperti itu tidak baik sebab tidak sesuai dengan karakter dayah. Menurut beliau penyelesaian suatu masalah mesti dilakukan melalui musyawarah, bukan provokasi. Di sini lagi-lagi saya mendapati Tumin sebagai sosok yang memiliki karakteristik tersendiri dan teguh pada prinsip yang diyakininya.
Selain itu, kita juga mungkin masih ingat ketika Illiza Sa’aduddin Jamal kembali mencalonkan diri sebagai calon walikota Banda Aceh. Saat itu seorang tokoh agama dengan tegas mengharamkan kepemimpinan perempuan. Tapi, Tumin memiliki pendapat sendiri. Saat itu dengan tegas beliau menyatakan tidak ada larangan perempuan menjadi pemimpin.
Apa yang disampaikan Tumin ini tentunya bukanlah hal baru, sebab ratusan tahun lalu Syaikh Abdurrauf As Singkili telah menyatakan itu yang kemudian dipraktikkan melalui kepemimpinan empat orang sultanah di Aceh.
Pendapat Tumin ini semakin mempertegas bahwa beliau adalah sosok yang punya pengetahuan luas, bahkan di atas rata-rata tokoh tradisional di Aceh abad ini.
Menjelang sore tadi (27/9/2022) sosok moderat yang ramah dan bersahaja itu telah kembali ke pangkuan Tuhannya. Dan kita semua patut kehilangan.
Semoga Tumin mendapatkan tempat yang layak di sisiNya. Allahummagfirlahu warhamhu…
0 Comments